jauh sekali rumahmu (bagian 3)

Jam setengah sepuluh aku dan suwasti naik menuju truk. “Maaf yaaaa..!” pandangan mereka mengikuti kami. Mungkin pikirnya. “dasar ibu-ibu…. Belanja aja lama banget!”

Sambil tersipu malu, aku dan suwasti duduk di bangku depan. Dan truk pun mulai melaju pelan menuju pintu rimba. Tidak sampai lima menit. Tiba-tiba truk berhenti. “Kenapa Mas?” tanyaku heran. “ya disini tempatnya.” Di tengah kebun teh. Di tepi jalan berbatu. Hanya ada segerombolan sapi yang sedang merumput dan memandang kami dengan keheranan. (aku curiga mereka juga mencicipi sebagian pucuk teh deh). Beberapa sedang menyusup di sela-sela kebun teh.

“aaaah… tahu begini” rasa bersalahku semakin menjadi. Kalau tahu jaraknya sedekat ini. Sudah dari tadi aku persilakan teman-teman lainnya untuk lanjut daripada menunggu kami yang sedang transaksi ikan asin di kampong empat sana 

Maka, mereka pun berlompatan dari atas truk. Kerir di estafetkan dari sana. Ada sekitar 2 atau 3 regu pendaki. Yang paling jelas kelihatan sih, rombongan mahasiswa UNSRI. Yang mengantar adik pendaki mereka –satu orang wanita- untuk naik ke dempo. Tapi yang nganter, banyak banget ooooi…. ;) cowok semuaaaa…! 

Tak berapa lama. Truk pun berbalik dan pergi. “kalau mau ke gua. Ada di terusan jalan ini. “ Katanya sebelum pergi. Uang sebesar dua ratus ribu berpindah tangan. Dan tawaran, jika mau ia siap menjemput kami kembali disini. Sambil tersenyum simpul “Gimana nanti aja Mas” jawab Joko.

Sementara teman-teman lainnya mulai menyusur kebun teh. (yang aku duga) Pintu rimba terlihat tidak terlalu jauh dari sini. Jelas sekali. Ada batas antara kebun teh dan rindang pepohonan.

“Ugh! Jauh juga” kembali kami berbenah. Tambah berat saja ucapku. Setelah siap. Kami berhimpun dan berdoa. Dipimpin Suwasti. Ini perjalanan panjang kami. Semoga kami selamat dan selalu dalam lindungan-Nya. Amin!

Dari kebun teh, jalan terus naik. Sedikit berkelok. Tapi jalur jelas sekali. Suwasti dan Dotten di didepan. Aku dan Joko menyusul di belakang. Setengah jam kemudian aku sudah tiba di pintu rimba. Pintu rimba yang dimaksud sebenarnya hanyalah kesepakatan tidak tertulis diantara para pendaki. Biasanya adalah suatu tempat dimana dimulai jalur pendakian yang sebenarnya. Dan biasanya sudah mulai masuk hutan. Tidak ada lagi alat transportasi lain yang dapat mencapainya. Panas sekali. Belum apa-apa, keringat sudah mengucur dengan derasnya. Pintu rimba ini sudah ada di ketinggian 1818 meter. Nampaknya, setengah dari gunung ini sudah ditanami dengan teh rupanya.

Aku memotret tanpa selera. Kantukku menyerang. Semangat pun hilang. Pukul sebelas siang saat ini. Tujuanku hanya satu. Bisa mencapai pos satu segera. Aku mulai berhitung. Pos satu ada di ketinggian 2165 meter. Itu artinya, kami hanya naik kurang dari empat ratus meter.

Dua setengah jam kemudian.
Tadi aku mulai frustasi melihat jalurnya. Ungkapan pak Anton di bawah sana. Bahwa jalur dempo seperti ciremai. Salah besar. Ini jauh lebih sulit. Bayanganku akan jalur gede via putri. Atau cikurai via TVRI. Atau salak (jalur manapun ) musnah seketika. Jalurnya benar-benar menguras tenaga. Jalan setapaknya licin dan tinggi. Tidak ada cara lain yang kami lakukan selain merayap dan mengandalkan bantuan akar pohon yang silang-menyilang di sepanjang jalur. Kadang-kadang aku harus memeras otak bagaimana caranya melewati tanjakan yang buatku mustahil aku lewati.

Kami berjalan beriringan. Dotten yang biasanya termasuk orang yang cepat naik. Nampak kesulitan berdamai dengan jalur ini. Mungkin juga karena beban berat yang dipikulnya. Suwasti menyusul di belakangnya. Aku berjalan mengikuti jejak Suwasti. Dan terakhir Joko. Syukurlah karena samar-samar aku masih dapat mendengar suara musik pada mpeg player yang di perkeras dengan speaker milik suwasti. Alat itu ada pada daypack Joko.

Setengah tiga kami sudah berdiri berdampingan di pos satu. Menurut aku sih tidak begitu luas ya. Maksimal ada dua tenda ukuran nyaman yang bisa didirikan disini. Ada sumber airnya kok.

Kali ini satu tenda saja yang didirikan. “Emang muat?” tanyaku sangsi. Tapi walau begitu, tetap saja aku bergerak membongkar kerir. Joko dan Dotten memasang tenda. Begitu siap, aku dan Suwasti bergegas masuk untuk berganti pakaian.

Perasaanku mendadak cerah kembali. Dengan badan kering dan bersih. Aku membantu Suwasti menyiapkan makanan. Menu kami siang ini adalah (sebenarnya sudah terlambat jika disebut makan siang) nasi dan telur dadar yang tadi kami pesan dari pak Rohim di kampong empat. Aku goring ikan asin sepat. Aku potong irisan cabe rawit dan bawang merah kemudian dikucuri dengan kecap manis. Maka, voila..! jadilah sambal kecap teman makan siang kami kali ini.

Kami pun tambah bersemangat untuk meneruskan masakan. Ibaratnya dapur umum 24 jam terus ngebuuuuul!!!! Setelah makan siang. *yang pada prakteknya menjadi makan sore-sore* dan sementara para lelaki itu bebenah. Aku dan Suwasti mempunyai ide cemerlang untuk menghemat waktu dan tenaga. Maka, kami mulai memasak nasi dan lauk. Untuk makan malam sekaligus makan pagi. Berharap. Agar esok, minimal pukul delapan kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.

Tenda pun menjadi nyaman sekali. Dan hangat. *tentu aja. Ada empat orang berhimpitan di dalamnya* Semua kerir *isi perlengkapan yang tidak dibutuhkan malam itu* dan sepatu. Serta dua kompor trangia. Kami simpan di teras tenda. Joko dan Dotten kemudian menutup rapat semua kerir dengan flysheet. Dan teras langsung ditutup. Jadi aman dari intipan binatang yang ingin turut mencicipi logistik kami. Pukul delapan malam kami sudah tertidur pulas. Menuntaskan kantuk dan lelah akibat perjalanan hari ini.

0 comments:

 

hujan, jalak dan daun jambu Design by Insight © 2009