Sementara adzan subuh sudah memanggil dari mesjid yang tidak jauh dari sana. Melihatku bengong dengan kerir di depan mesjid. Sebuah mobil butut yang lewat berhenti. Dengan logatnya yang kental ia berucap :”aku nak ke kampong duo. Nak melok?” Aku menggeleng. “Terimakasih Pak, tapi tidak!” kami belum siap berangkat sepagi itu.
Banyak yang naik. Mungkin karena ada dua hari libur nasional yang berderet berimpitan. Beragam pula yang naik. Mulai dari temen-temen mahasiswa UNSRI. Pegawai Kecamatan Pagar Alam, adik-adik SMA di Tanjung Raja. Ada pula yang dari Lampung, satu rombongan ketika kami akan turun. Bahkan ada penduduk yang membayar kaulnya dengan memotong kambing dan ayam di pelataran Dempo.
Akhirnya suwasti memutuskan untuk menelpon sopir truk –yang biasa mengangkut pemetik teh- untuk menghemat tenaga dan waktu. Kami memutuskan untuk naik hingga kampung 4. Syukur-syukur malah hingga ke pintu rimba. Aku membayangkan jalur cimelati, gunung salak. Naek ojek hingga persis sis pintu rimba ..hehehe..
Jam delapan pagi adik si sopir tiba. Tak berapa lama, sopirnya pun datang. Ia meminta bayaran 200 ribu. Katanya, bulan lalu ia dibayar 250 ribu oleh pendaki yang datang dari Jakarta. . “astaga!” ucapku dalam hati. Mahal sekali. Maka otak kami pun berputar. Kami ajak teman-teman yang masih ada di pondok pendaki. Sharing untuk naik. Lumayan ada tambahan 18 orang. Masing-masing kami kutip sebesar lima ribu rupiah.
“kok lima ribu?” protesku. “namanya juga mahasiswa, Hany” jawab Joko. “Masih untung ada yang mau sharing. Karena dengan atau tanpa mereka, kita tetap harus sewa kendaraan”
Maka masuklah kami semua ke dalam truk. Pak Anton sengaja datang dan mengantar kami semua. Aku sempat ngobrol sebentar dengan Pak Anton. Malah nitip teh dan kopi dempo. Untuk kami bawa sebagai oleh-oleh nanti ketika kami kembali ke Jakarta.
Setengah jam kemudian, truk kami sudah berjalan melewati perkebunan teh. Jalan aspal mulus. Kami semakin naik mendekati punggung gunung. Kampung 2 kami lewati. Dan setengah jam kemudian, mulailah kami memasuki jalan batu yang cukup mengguncangkan isi perut kami.
Aku minta si sopir untuk berhenti sebentar di kampung 4. Kontraknya adalah berhenti hingga entry point pintu rimba. Suwasti jauh-jauh hari sudah menghubungi pak Rohim untuk memesan tambahan logistik. “Udah gw sms” oh… tenanglah hatiku. “ jadi mau pesen ayam? Harganya 27 ribu”
Namun urung kami pesan. Ayamnya belum di potong. “Huuuuuu!” kekesalanku bertambah. Rupanya, pesanan yang di sms Suwasti, belum disiapkan olehnya. Aku dan Suwasti berpandang-pandangan. Warung pak Rohim ini menjadi satu dengan rumahnya. Tidak ada ruang tamu. Hanya ada meja panjang tempat orang duduk untuk sarapan. Ada sekitar 5 orang. Satu orang wanita dan sisanya laki-laki. Masih muda. Mungkin masih mahasiswa. Dari kostumnya sudah dapat aku tebak. Mereka pendaki dan mau naik. Mereka seolah tidak memperdulikan sekitar. Tiada henti-hentinya tertawa sambil sarapan. Jangan-jangan pada tripping nih, batinku.
Ketawanya nggak wajar. -kemudian di pos dua kami sempat berkenalan. Waktu itu kami baru naik, dan mereka dalam perjalanan turun. Mereka mahasiswa dari Padang-
Disamping ruang utama itu, ada satu ruang tengah yang sekaligus menjadi dapur. “Ibu kemana pak?” tanyaku. Melihat ia sibuk menyiapkan mie instant dan nasi pesanan kami. “Lagi ada syukuran di rumah tetangga” Lama-kelamaan kekesalanku luntur. Pak Rohim ini sabar sekali meladeni kebawelan kami. Aku dan Suwasti akhirnya menyiapkan sendiri logistik yang kami perlukan. Telur, bawang, ikan asin, sayur. Semua kami siapkan. Kami tumpuk dalam satu tumpukan kecil. Agar dapat dihitung nanti oleh pak Rohim. (yang sementara itu sibuk menyiapkan sarapan untuk kami)
Ada perasaan tidak enak juga meninggalkan teman-teman yang berdelapan belas itu di truk. Aku pikir, Joko sudah menyampaikan kepada mereka, bahwa kami akan berhenti sekitar setengah jam disini. (yang kemudian molor jadi sejam) Maaf ya teman-teman.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment