jauh sekali rumahmu (bagian 4)

Jumat 21 Maret 2008
Jangan anggap remeh divisi dapur umum ya. Ternyata, perlu perencanaan yang rumit dan ketat sekali. Gara-gara itu, aku dan Suwasti rela memanjangkan waktu masak kami demi niat bangun cepat dan berangkat lebih pagi. Pagi itu, nasi dihangatkan kembali oleh suwasti. Sementara aku menyiapkan minuman hangat. Dan mulai menghangatkan lauk.


Rupanya, rencana tinggal rencana. Mau curi start seperti ini atau enggak. Kami tetap berangkat pukul sepuluh pagi. Hahaha…. Ah.. sudahlah. Yang penting kami berangkat dengan hati senang dan penuh semangat. Itu yang lebih penting.
Baru saja kami akan pergi. Dari bawah, muncul 4 orang yang baru naik. Nafas mereka terengah. Kami berkenalan sejenak. Maaf ya. Terus terang aku lupa nama-nama mereka. Tapi aku ingat betul bahwa mereka adalah anak-anak SMA –yang kemudian baru aku tahu, mereka berasal dari SMA Tanjung Raja- baru kelas 2 dan 3. baru naik pukul 7 pagi tadi yang berniat ngebut langsung hingga pelataran. Dan segera turun. Karena hari Senin ada ujian tengah semester. 

Nah. Sejak itu kami berteman baik dengan adik-adik oi-oi kami. Kenapa disebut oi-oi? Ah… panggilan khas mereka ketika bertemu dengan pendaki lain. –termasuk kami diantaranya-. Mereka beristirahat sejenak di pos satu. Sementara kami melanjutkan perjalanan. Joko meminta barang-barang yang tidak kami perlukan. Untuk disimpan di salah satu daypack. Dan disembunyikan tidak jauh dari pos satu. Rupanya Joko lupa. Ia melaju dan terus berjalan. Sehingga Suwastilah yang menyembunyikannya di balik pohon tidak jauh dari jalur.

Perkiraan kami, tepat pada waktu makan siang, kami akan tiba di pos dua. Nasi sudah suwasti masak tadi pagi –ketika kami sarapan-. Sehingga, kami tak perlu berlama-lama di pos dua. Biasanya kalau break terlalu lama. Godaan untuk berhenti, tidur dan membuka tenda sangatlah besar. Kami tidak mau dong, terlalu lama di sini. Waktu juga tidak memungkinkan. Menurut perkiraan, jarak antara pos satu dan pos dua sekitar tiga jam perjalanan. Jalurnya jauh lebih sulit daripada perjalanan dari pintu rimba hingga pos satu.


Pos dua ada di ketinggian 2632m dpl. Kami harus naik sekitar 500 meter. “Ah… jauh sekaliiii”
Kami masih bersemangat pagi itu. Udara mulai relatif sejuk. Namun kami berempat cukup dipusingkan oleh jalur yang tak pernah ada bonus. Semakin curam. Yang kuingat, setiap pijakan paling tidak setinggi paha, pinggang dan kepalaku. Kami berjalan beriringan. Kadang-kadang, jarak antara kami cukup jauh. Tapi masih dapat melihat cover kerir masing-masing. Atau suara mpeg player Joko yang berjalan paling belakang. Terkadang, rombongan kami susul-menyusul dengan teman-teman oi-oi kami. Ah…
Read more

jauh sekali rumahmu (bagian 3)

Jam setengah sepuluh aku dan suwasti naik menuju truk. “Maaf yaaaa..!” pandangan mereka mengikuti kami. Mungkin pikirnya. “dasar ibu-ibu…. Belanja aja lama banget!”

Sambil tersipu malu, aku dan suwasti duduk di bangku depan. Dan truk pun mulai melaju pelan menuju pintu rimba. Tidak sampai lima menit. Tiba-tiba truk berhenti. “Kenapa Mas?” tanyaku heran. “ya disini tempatnya.” Di tengah kebun teh. Di tepi jalan berbatu. Hanya ada segerombolan sapi yang sedang merumput dan memandang kami dengan keheranan. (aku curiga mereka juga mencicipi sebagian pucuk teh deh). Beberapa sedang menyusup di sela-sela kebun teh.

“aaaah… tahu begini” rasa bersalahku semakin menjadi. Kalau tahu jaraknya sedekat ini. Sudah dari tadi aku persilakan teman-teman lainnya untuk lanjut daripada menunggu kami yang sedang transaksi ikan asin di kampong empat sana 

Maka, mereka pun berlompatan dari atas truk. Kerir di estafetkan dari sana. Ada sekitar 2 atau 3 regu pendaki. Yang paling jelas kelihatan sih, rombongan mahasiswa UNSRI. Yang mengantar adik pendaki mereka –satu orang wanita- untuk naik ke dempo. Tapi yang nganter, banyak banget ooooi…. ;) cowok semuaaaa…! 

Tak berapa lama. Truk pun berbalik dan pergi. “kalau mau ke gua. Ada di terusan jalan ini. “ Katanya sebelum pergi. Uang sebesar dua ratus ribu berpindah tangan. Dan tawaran, jika mau ia siap menjemput kami kembali disini. Sambil tersenyum simpul “Gimana nanti aja Mas” jawab Joko.

Sementara teman-teman lainnya mulai menyusur kebun teh. (yang aku duga) Pintu rimba terlihat tidak terlalu jauh dari sini. Jelas sekali. Ada batas antara kebun teh dan rindang pepohonan.

“Ugh! Jauh juga” kembali kami berbenah. Tambah berat saja ucapku. Setelah siap. Kami berhimpun dan berdoa. Dipimpin Suwasti. Ini perjalanan panjang kami. Semoga kami selamat dan selalu dalam lindungan-Nya. Amin!

Dari kebun teh, jalan terus naik. Sedikit berkelok. Tapi jalur jelas sekali. Suwasti dan Dotten di didepan. Aku dan Joko menyusul di belakang. Setengah jam kemudian aku sudah tiba di pintu rimba. Pintu rimba yang dimaksud sebenarnya hanyalah kesepakatan tidak tertulis diantara para pendaki. Biasanya adalah suatu tempat dimana dimulai jalur pendakian yang sebenarnya. Dan biasanya sudah mulai masuk hutan. Tidak ada lagi alat transportasi lain yang dapat mencapainya. Panas sekali. Belum apa-apa, keringat sudah mengucur dengan derasnya. Pintu rimba ini sudah ada di ketinggian 1818 meter. Nampaknya, setengah dari gunung ini sudah ditanami dengan teh rupanya.

Aku memotret tanpa selera. Kantukku menyerang. Semangat pun hilang. Pukul sebelas siang saat ini. Tujuanku hanya satu. Bisa mencapai pos satu segera. Aku mulai berhitung. Pos satu ada di ketinggian 2165 meter. Itu artinya, kami hanya naik kurang dari empat ratus meter.

Dua setengah jam kemudian.
Tadi aku mulai frustasi melihat jalurnya. Ungkapan pak Anton di bawah sana. Bahwa jalur dempo seperti ciremai. Salah besar. Ini jauh lebih sulit. Bayanganku akan jalur gede via putri. Atau cikurai via TVRI. Atau salak (jalur manapun ) musnah seketika. Jalurnya benar-benar menguras tenaga. Jalan setapaknya licin dan tinggi. Tidak ada cara lain yang kami lakukan selain merayap dan mengandalkan bantuan akar pohon yang silang-menyilang di sepanjang jalur. Kadang-kadang aku harus memeras otak bagaimana caranya melewati tanjakan yang buatku mustahil aku lewati.

Kami berjalan beriringan. Dotten yang biasanya termasuk orang yang cepat naik. Nampak kesulitan berdamai dengan jalur ini. Mungkin juga karena beban berat yang dipikulnya. Suwasti menyusul di belakangnya. Aku berjalan mengikuti jejak Suwasti. Dan terakhir Joko. Syukurlah karena samar-samar aku masih dapat mendengar suara musik pada mpeg player yang di perkeras dengan speaker milik suwasti. Alat itu ada pada daypack Joko.

Setengah tiga kami sudah berdiri berdampingan di pos satu. Menurut aku sih tidak begitu luas ya. Maksimal ada dua tenda ukuran nyaman yang bisa didirikan disini. Ada sumber airnya kok.

Kali ini satu tenda saja yang didirikan. “Emang muat?” tanyaku sangsi. Tapi walau begitu, tetap saja aku bergerak membongkar kerir. Joko dan Dotten memasang tenda. Begitu siap, aku dan Suwasti bergegas masuk untuk berganti pakaian.

Perasaanku mendadak cerah kembali. Dengan badan kering dan bersih. Aku membantu Suwasti menyiapkan makanan. Menu kami siang ini adalah (sebenarnya sudah terlambat jika disebut makan siang) nasi dan telur dadar yang tadi kami pesan dari pak Rohim di kampong empat. Aku goring ikan asin sepat. Aku potong irisan cabe rawit dan bawang merah kemudian dikucuri dengan kecap manis. Maka, voila..! jadilah sambal kecap teman makan siang kami kali ini.

Kami pun tambah bersemangat untuk meneruskan masakan. Ibaratnya dapur umum 24 jam terus ngebuuuuul!!!! Setelah makan siang. *yang pada prakteknya menjadi makan sore-sore* dan sementara para lelaki itu bebenah. Aku dan Suwasti mempunyai ide cemerlang untuk menghemat waktu dan tenaga. Maka, kami mulai memasak nasi dan lauk. Untuk makan malam sekaligus makan pagi. Berharap. Agar esok, minimal pukul delapan kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.

Tenda pun menjadi nyaman sekali. Dan hangat. *tentu aja. Ada empat orang berhimpitan di dalamnya* Semua kerir *isi perlengkapan yang tidak dibutuhkan malam itu* dan sepatu. Serta dua kompor trangia. Kami simpan di teras tenda. Joko dan Dotten kemudian menutup rapat semua kerir dengan flysheet. Dan teras langsung ditutup. Jadi aman dari intipan binatang yang ingin turut mencicipi logistik kami. Pukul delapan malam kami sudah tertidur pulas. Menuntaskan kantuk dan lelah akibat perjalanan hari ini.
Read more

jauh sekali rumahmu (bagian 2)

Sementara adzan subuh sudah memanggil dari mesjid yang tidak jauh dari sana. Melihatku bengong dengan kerir di depan mesjid. Sebuah mobil butut yang lewat berhenti. Dengan logatnya yang kental ia berucap :”aku nak ke kampong duo. Nak melok?” Aku menggeleng. “Terimakasih Pak, tapi tidak!” kami belum siap berangkat sepagi itu.

Banyak yang naik. Mungkin karena ada dua hari libur nasional yang berderet berimpitan. Beragam pula yang naik. Mulai dari temen-temen mahasiswa UNSRI. Pegawai Kecamatan Pagar Alam, adik-adik SMA di Tanjung Raja. Ada pula yang dari Lampung, satu rombongan ketika kami akan turun. Bahkan ada penduduk yang membayar kaulnya dengan memotong kambing dan ayam di pelataran Dempo.

Akhirnya suwasti memutuskan untuk menelpon sopir truk –yang biasa mengangkut pemetik teh- untuk menghemat tenaga dan waktu. Kami memutuskan untuk naik hingga kampung 4. Syukur-syukur malah hingga ke pintu rimba. Aku membayangkan jalur cimelati, gunung salak. Naek ojek hingga persis sis pintu rimba ..hehehe..

Jam delapan pagi adik si sopir tiba. Tak berapa lama, sopirnya pun datang. Ia meminta bayaran 200 ribu. Katanya, bulan lalu ia dibayar 250 ribu oleh pendaki yang datang dari Jakarta. . “astaga!” ucapku dalam hati. Mahal sekali. Maka otak kami pun berputar. Kami ajak teman-teman yang masih ada di pondok pendaki. Sharing untuk naik. Lumayan ada tambahan 18 orang. Masing-masing kami kutip sebesar lima ribu rupiah.
“kok lima ribu?” protesku. “namanya juga mahasiswa, Hany” jawab Joko. “Masih untung ada yang mau sharing. Karena dengan atau tanpa mereka, kita tetap harus sewa kendaraan”

Maka masuklah kami semua ke dalam truk. Pak Anton sengaja datang dan mengantar kami semua. Aku sempat ngobrol sebentar dengan Pak Anton. Malah nitip teh dan kopi dempo. Untuk kami bawa sebagai oleh-oleh nanti ketika kami kembali ke Jakarta.

Setengah jam kemudian, truk kami sudah berjalan melewati perkebunan teh. Jalan aspal mulus. Kami semakin naik mendekati punggung gunung. Kampung 2 kami lewati. Dan setengah jam kemudian, mulailah kami memasuki jalan batu yang cukup mengguncangkan isi perut kami.

Aku minta si sopir untuk berhenti sebentar di kampung 4. Kontraknya adalah berhenti hingga entry point pintu rimba. Suwasti jauh-jauh hari sudah menghubungi pak Rohim untuk memesan tambahan logistik. “Udah gw sms” oh… tenanglah hatiku. “ jadi mau pesen ayam? Harganya 27 ribu”

Namun urung kami pesan. Ayamnya belum di potong. “Huuuuuu!” kekesalanku bertambah. Rupanya, pesanan yang di sms Suwasti, belum disiapkan olehnya. Aku dan Suwasti berpandang-pandangan. Warung pak Rohim ini menjadi satu dengan rumahnya. Tidak ada ruang tamu. Hanya ada meja panjang tempat orang duduk untuk sarapan. Ada sekitar 5 orang. Satu orang wanita dan sisanya laki-laki. Masih muda. Mungkin masih mahasiswa. Dari kostumnya sudah dapat aku tebak. Mereka pendaki dan mau naik. Mereka seolah tidak memperdulikan sekitar. Tiada henti-hentinya tertawa sambil sarapan. Jangan-jangan pada tripping nih, batinku.
Ketawanya nggak wajar. -kemudian di pos dua kami sempat berkenalan. Waktu itu kami baru naik, dan mereka dalam perjalanan turun. Mereka mahasiswa dari Padang-

Disamping ruang utama itu, ada satu ruang tengah yang sekaligus menjadi dapur. “Ibu kemana pak?” tanyaku. Melihat ia sibuk menyiapkan mie instant dan nasi pesanan kami. “Lagi ada syukuran di rumah tetangga” Lama-kelamaan kekesalanku luntur. Pak Rohim ini sabar sekali meladeni kebawelan kami. Aku dan Suwasti akhirnya menyiapkan sendiri logistik yang kami perlukan. Telur, bawang, ikan asin, sayur. Semua kami siapkan. Kami tumpuk dalam satu tumpukan kecil. Agar dapat dihitung nanti oleh pak Rohim. (yang sementara itu sibuk menyiapkan sarapan untuk kami)

Ada perasaan tidak enak juga meninggalkan teman-teman yang berdelapan belas itu di truk. Aku pikir, Joko sudah menyampaikan kepada mereka, bahwa kami akan berhenti sekitar setengah jam disini. (yang kemudian molor jadi sejam) Maaf ya teman-teman.
Read more

jauh sekali rumahmu (bagian 1)

kamis 20 maret 2008
Subuh itu, kendaraan yang kami tumpangi baru saja tiba di kaki gunung Dempo. Kami penumpang terakhir yang diantar pagi buta itu. Setelah menempuh delapan setengah jam perjalanan dari kota Palembang.

Tubuhku terasa penat walau sempat tertidur sejenak di dalamnya. “Telat luar biasa” keluhku. Semalam, kendaraan kami, baru beranjak pukul tujuh malam dari pol travel Telaga Biru di Palembang dan langsung meluncur menuju Pagar Alam, padahal setidaknya pukul satu malam kami sudah tiba disini.

Kami berempat –saya, joko, suwasti dan dotten- Berangkat dari Jakarta kemarin, hari Rabu tanggal 19 Maret 2008. Kami tiba di Palembang siang hari dan disambung dengan travel menuju kota Pagar Alam.

Mendadak hilang kantukku, ketika aku keluar dari mobil. Dingin. Samar masih dapat kulihat gunung tertinggi di bumi Sriwijaya itu. Tingginya 3159meter. Enggan membangunkan Pak dan Mak Anton, kami bergegas menuju pondok pendaki yang ada di belakang rumah Pak Anton. Bedeng kayu dan seng sederhana. “Penuh!” bisik Joko. Kulihat orang bersarung sleeping bag tidur berjejal memanjang. Bahkan ada dua tenda yang di gelar di depan pondok karena tak kuasa menampung penghuninya.

Hari ini awal yang melelahkan bagi kami berempat. Walau kami sempat tidur di jalan, namun tak selesa rasanya. Sambil bebenah di teras rumah Pak Anton, rencanapun kami susun ulang. Sebagian barang yang tidak kami perlukan, kami titipkan di rumah Pak Anton. Kami akan naik hingga pos 1 saja dulu. Pos ini ada di ketinggian 2165 meter. “Sekalian aklimatisasi ” Baru keeesokan harinya kami sambung hingga puncak Dempo dan kemudian turun menuju pelataran untuk bermalam. Pelataran yang dimaksud disini adalah sebuah lapangan terbuka, sebuah lembah kecil yang diapit oleh puncak Gunung Dempo dan puncak Gunung Marapi.

Ada satu hal yang lupa kami perhitungkan. Yaitu hari libur nasional. Tentunya tak ada truk pengangkut pemetik teh yang dapat kami tumpangi. Menurut informasi yang kami terima sebelumnya. Truk pengangkut pemetik teh berangkat pukul setengah enam dan setengah tujuh pagi menuju kampung 4.



serpong 28 maret 2008 ; 20.46
Read more

Ciremai saat itu, langit-Mu biru sekali




dan saat itu, langitmu biru sekali.
enggan rasanya turun kembali ke bumi.



trip reuni jalur apuy-palutungan,
tiga hari dua malem
menuju Ciremai 3078 mdpl
3-5 Oktober 2008
bareng Jenny, Devi dan Steve,
thanks guys!
Read more

galunggung, katakan padaku yang sebenarnya kau mau




“Ada yang aneh dengan danau ini, Win”
“Apa mbak?”
“Danaunnya terlalu tenang.” “Mencurigakan”

Dan kemudian hening, mengikuti denyut nadi sang danau yang pendiam itu. Dibalik rupamu yang murung dan sendu itu, kami sepakat, tempat ini adalah salah satu tempat terindah yang pernah kami lihat. Dan pada suatu hari nanti, kami pasti kembali.

Galunggung, 30-31 Agustus 2008


Catatan : judul dipetik dari lirik lagu katakan sebenarnya by Dewiq. (satu lagu yang terngiang terus sepanjang perjalanan hari itu)

Makasih juga buat temen-temen kempingku kali ini : nice trip guys!

Read more

di pangrango.. kami bercakap sepanjang malam




Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdiang pada
    suku kata yang gosok-menggosok dan membara.
    “Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan
    menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain
    putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!”
Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam: “ Tetapi begitu
cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beter-
bangan dan menyesakkan udara dan …”

sajak, 1 sapardi djoko damono 1973


Serpong, 18 juli 2008

-sebuah perjalanan panjang menuju Pangrango 12-13 juli 2008, thanks to : Suwasti Dewi Anitasari, Kris Hartanto n Taufan Hidayat juga temen-temen yang kebetulan naek bareng : Enoy, Bongkeng, Heni dan Mbak Utari plus Abah dan Wahyu-

Read more

bahkan ketika kami pergi pun, dempo akan selalu ada disini




Gunung Dempo ada di Sumatera Selatan. Tujuh jam perjalanan darat dari Palembang. Gunung tertinggi di bumi Sriwijaya itu memiliki ketinggian sekitar 3159 meter diatas muka laut.

Tiga malam di gunung. Tanpa kami sadari, semua shelter kami sambangi. Pos satu di malam pertama. Pelataran pada malam kedua. Dan terakhir, kami bermukim di pos dua.

 Kisah selanjutnya cukup mendebarkan. Mulai dari jalur yang licin dan pijakan yang setinggi paha dan kepala. Angin yang menderu-deru semalaman. Puncak Marapi yang selalu tertutup kabut dan kemudian baru kami tahu mengapa tidak ada pendaki lain yang berani menginap di pos satu atau pos dua.

Nah lo?

 
Trip dempo 19-25 maret 2008 bareng Joko, Suwasti dan Dotten

Read more
 

hujan, jalak dan daun jambu Design by Insight © 2009