guntur







Perjalanan Ke Gunung Guntur PDF Print E-mail








Monday, 20 September 2004

ImageJerukkk….jerukk…!!!!


“Jeruukkkk!!! Jeruuuuuk!!! Saat itu pukul 3 subuh. Dalam perjalan kami ke Garut.
Sementara di ujung sana Ibeth cuma membuka sebelah matanya, dan tertidur kembali. Di sebelahnya Joko terbangun dengan wajah masam karena si tukang jeruk sengaja berteriak tepat di telinganya. Dan dengan tanpa dosa, si tukang jeruk langsung menyodorkan jeruknya tepat didepan hidung. “jeruk?” Aku mengeluh, agak flu, akibatnya hampir urung ikut pendakian kali ini. Dihajar obat flu dan vitamin C dosis tinggi, aku kemudian memaksakan diri untuk tidur. Menghimpun tenaga agar keesokan harinya siap melakukan pendakian.


Semalam bus kami berangkat tepat pukul 12 malam dari kampung rambutan. Dari
Jakarta aku, Ika, Ibeth dan Joko sedangkan Hanief dan Iyus akan menyusul langsung dari Bandung. Eskalasi kenaikan harga jeruk terus kami ikuti…”sepuluh ribu 20” sampe “sepuluh ribu 50! Dilepasss deh!” “kalo nggak manis… boleh dibalikin” sayup-sayup terdengar trik-trik menarik perhatian membangunkan penumpang “sudah sampe Garut! Garut! Jeruk… jeruuuuuuuuuuk…. ” Walaupun sungguh mati sama sekali belum mendekati terminal. Hingga akhirnya jam 05.15 kami tiba di terminal Garut. Dingin! Dengan empat kerir di sudut terminal. Aku telpon Hanief yang ternyata baru tiba pula disana. Berempat dengan sisa kantuk yang ada berjalan menuju meeting point di mesjid Al Mubarok depan terminal. Kami berbaur dengan penduduk yang baru bubar shalat subuh. Istirahat sejenak, minum kopi cukup menyegarkan, ganti kostum, repacking dan siap-siap menuju terminal untuk sarapan.


Jam 6 pagi, beriringan kami berenam menuju terminal dalam kota. Warung nasi langganan sudah buka. Kami sarapan dengan lauk gepuk, lalap, ayam goreng dan nasi yang mengepul. Hmmmmm…. Sedapnya. Sekalian pesen bekal buat makan siang nanti di jalan. Lumayan murah… untuk lauk-pauk lengkap begitu tidak sampai 4500 rupiah…perorangnya.


ImageAngkot kermit Jam 7 pagi, diikuti dengan pandangan ingin tahu dari orang-orang di terminal dan beberapa tawaran calo yang menawarkan jasanya. Kami memutuskan untuk naik angkot warna hijau kermit menuju Citiis. Terlalu semangat sih…. Sopir angkotnya malah menawarkan diri untuk dicarter.. (angkot maksudnya!) sampe akhirnya kami setuju dengan syarat pertama diantar sampai penggalian pasir dan syarat kedua, angkot bisa berhenti dimana saja yang kami minta. Maklumlah kali ini semuanya adalah portergrapher (porter sekaligus photographer) menurut Ika “momen Ries! Momeeeenn!” hasilnya? Kami berenam berfoto di tengah sawah ala video clip dengan latar Guntur di belakangnya. Belum sampai penggalian pasir, jalur kendaraan bergelombang dan mulai menanjak. sang supir memandang kami dengan putus asa “Sampe sini aja ya?” huuu….. ditingkahi suara-suara protes kami. “kontraknya kan sampe penggalian pasir!” Kami pura-pura tidak mendengar protes sang supir. Sibuk melihat pemandangan disekitar. Gunung Cikurai di kejauhan dan semakin mendekati kaki Gunung Guntur yang membuat kami berbisik bisik …….“kalo gunung Guntur arah sebelah mana Ries?” tanya Joko “Kalo arah pulang?” hua..ha…haaaa…..Sampai akhirnya mobil benar-benar mogok!


 


ImageCafé Mega – Hasyim
Untunglah tak berapa lama lewat truk pasir. Sang supir dengan sukacita menjadi negosiator agar kami dapat menumpang truk hingga penggalian pasir, berdasar informasi yang kami dapat, jalur pendakian di mulai dari penggalian pasir Citiis. Dari sana kami ikuti terus jalur pipa air hingga bertemu dengan Curuq Citiis. Konon .. setiap malem minggu, curuq ini ramai oleh abg Garut yang pada dugem. Boleh juga nih….. jam 08.15 kami tiba di penggalian pasir (975 m dpl). Duo reporter Joko dan Ibeth mulai beraksi ala wartawan TV di sekitar penggalian pasir. Sementara aku menyiapkan tripod untuk foto keluarga sebelum pendakian dimulai.Lima belas menit kemudian setelah berdoa bersama, mulailah kami berjalan menyusuri jalur menuju curug Citiis. Tidak berapa lama pipa air (yang jadi highway-nya semut) berwarna hijau lumut kami temukan sepanjang jalan. Jalur cukup jelas dan tidak begitu curam, pepohonan di sekitar kami cukup membuat udara sejuk. menyeberangi aliran sungai dan akhirnya jam 10.00 sampai di curug Citiis (1120 m dpl). Ika sudah nongkrong bergabung dengan remaja-remaja setempat. Joko dan Ibeth, apalagi kalau bukan bergaya ala reporter dan cameramen. Hanief sibuk mengambil beberapa gambar air terjun. Iyus, adik kita yang satu ini duduk terdiam menikmati alam. “Pendakian perdana nih broer!”


Café mega-Hasyim
Luar biasa! jauh-jauh datang kesini, ternyata nemunya café mega-hasyim. Menurut owner kafe tersebut yang (kebetulan) ada waktu kami datang bertandang, kafenya buka dari hari jumat –sabtu-minggu “yaah…. Memenuhi permintaan pasar!” ujarnya mantab (dengan B). Café di ketinggian 1120 m dpl ini menjawab kebutuhan para dugemers yang embutuhkan secangkir kopi hangat, mie rebus, cemilan ringan, hingga shampoo dan odol. Jam 11.15 barulah kami mulai pendakian yang sebenarnya. Jalur cukup terjal dan terbuka sepanjang mata memandang. Sama sekali tidak ada pohon buat kami berteduh. Panas terik menyengat. Hanya ilalang disekitar kami. Jauh didepan tampak puncak (paling tidak!) Guntur. Aku cukup sering berhenti dan memandang kebawah, nampak kota garut dan penggalian pasir. Di selatan, tampak Cikuray yang begituuuuuuu fotogeniknya. Sedangkan sebelah menyebelah dengan punggungan gunung yang kami daki, tampak begitu hijaunya. Cukup bikin ngiler buat jalan kearah sana.


Pos 1 (1250m dpl) pohon pertama : makan siang
Pohon pertama yang kami jumpai, sudah pukul 12.15, Hanief dan Iyus sudah tiba terlebih dahulu. Ika dan Ibeth menyusul. Begitu aku tiba, segelas pepsi blue lengkap dengan es batu sudah diangsurkan Hanief untukku. “oh? Pepsi blue Nief … tapi es batu? Gileeee…!” Joko datang dan segera memasang kursi kerajaannya. Dengan pepsi blue di tangan dan makan siang dengan bekal yang kami beli tadi di terminal Guntur. Kami mulai menikmati santapan siang di keteduhan satu-satunya pohon yang (baru) kami jumpai disini. Satu jam kemudian, perjalanan kami teruskan. “Busyeeetttt! Kayaknya ngga ada deh… pakar yang nyaranin buat daki dalam keadaan panas terik begini!” Ika melenguh panjang. (sapi kali ya?) Medan semakin berat, panas semakin terik. Sudah berbotol-botol air mineral yang kami minum. Puncak terlihat sih di depan. Tapi, kok tidak sampai juga ya? Kataku dalam hati. (Catatan diucapkan di dalam hati)


Entah sudah berapa kali kami rehat. Bergantian Ika dan hanief shalat di jalur yang miring. Jalur bukannya semakin mudah (iyalah!) tapi mulai berpasir dan kerikil. Kami mulai memperagakan gaya ala Spiderman disana. Sesekali meminta bantuan ilalang di kanan kiri kami. Hingga tiba-tiba…. Joko melesat maju melewati kami. Dengan kerir 100 liternya, ia berdiri dengan gagah diatas batu. Suasana saat itu mencekam sekali. Maklum, sudah lewat magrib. Cahaya sudah mulai redup. “kamu! Yang baju merah!” sambil menunjuk Ika “saya lihat dari tadi kamu santai santai sajaaah!”. “kamu!” sambil menunjukku yang rasanya sudah ingin meninjunya saat itu juga “ Kamu juga!” kali ini Ibeth yang ditunjuk. “Ayo! Jalan terus!” Huaaaaaaa!



Pos 2 (1890 m dpl) nge camp!
Hanief dan Iyus kami biarkan berjalan di depan. Hari sudah gelap. Ika putuskan untuk mencari tempat yang aman buat ngecamp. Perkiraan kami, tidak lama lagi akan sampai di puncak bayangan. Harapannya, besok pagi bisa langsung summit attack! pukul 18.30 sebelum bibir kawah kami temukan tempat yang cukup datar, cukup untuk 2 tenda. Tempatnya terbuka. Pasak kami pancangkan erat-erat. Waspada boleh dong, Kalau tidak kuat nanti angin akan membawa tenda kami. Malam itu suhu tidak terlalu dingin “10 derajat!” kata Hanief. Dan malam itu, setelah berbenah, mulailah dapur umum digelar. Dengan 2 tenda dan 3 kompor yang mengebul. Masing-masing tidak mau kalah dengan menu andalannya. Hanief malam itu mengeluarkan jurus tempe goreng, tumis kangkung dan sambel buatan sendiri. (lengkap dengan ulekan kayunya!) Joko dan Ibeth tidak ketinggalan menampilkan sop dan sosis gorengnya. Kalau tidak segera dihentikan, mereka akan lanjutkan dengan kentang goreng dengan enam macam bumbu khusus. Sedangkan Ika, cukup dengan kopi Capuccino dan mie soto padangnya. Malam itu cerah sekali, bulan bersinar terang. Di kejauhan nampak bayang kehitaman siluet gunung Cikurai.



Puncak yang mana..????!!
Summit attack
Alarm aku set jam 5 subuh. Sementara Hanief dan Joko sudah terbangun sejak tadi. Perlahan, aku bangun dan memulai ritual pagi. Sarapan kopi dan roti. Kabut cukup tebal. Ibeth masih meringkuk di dalam sleeping bednya. Pukul 6 pagi, berbekal daypack isi snack, air dan tripod aku dan Ika berjalan terlebih dahulu menuju puncak. Sementara yang lain, akan menyusul kemudian. Kami mendaki sedikit, dan sampai di bibir kawah. Kawah tidak terlihat dari sini. Selain tertutup kabut, juga penuh dengan pepohonan. Kami berjalan ke arah kanan. Jalurnya jelas sekali, melipir pinggiran kawah dan kemudian mulai mendaki. Kami melewati padang ilalang dan kalau beruntung kami temui juga edelweiss yang mulai berbunga diantaranya. Jalur berupa tanah belerang yang agak gembur dan licin. Jadi….hati-hati! Aku masih tertinggal di belakang, mengambil beberapa gambar. Di atas sana Ika sudah berhenti dan menungguku. “don’t say a word Ika!” kataku. Dia Cuma senyum-senyum saja. Something happen nih!


Pos 3 Puncak bayangan (2000 m dpl)
Bener juga, begitu aku menjejakkan kaki disana. Pandanganku menyapu satu puncak lagi di arah utara. Yang tidak terlihat dari tempat kami ngecamp tadi. Cuma 30 menit kami tadi berjalan. Ternyata inilah puncak bayangan itu. Seperti informasi yang kami terima sebelumnya, di puncak bayangan ini kami temukan titik triangulasi dan beberapa memoriam. Di kejauhan, kami melihat dataran yang cukup luas untuk ngecamp. Cuaca masih cerah. Di sekitar masih terlihat gunung Papandayan, Cikurai, Gunung Satria dan Kota Garut. Sambil menunggu yang lain menyusul. Aku dan Ika membuat reportase singkat via handycam. Dan makan cemilan ringan. Nggak berapa lama Hanief dan Iyus menyusul. Kami ngobrol sebentar. Hingga kabut mulai turun kembali.


Di kejauhan, Joko dan Ibeth datang menyusul. Dengan senyum cerah, Joko berlompat-lompatan dan menyalami kami satu persatu “Selamat ya! Akhirnya kita sampai juga di puncak” dan “Selamat ya Ries!” masih menguncang-guncangkan tanganku. “mmm… Joko…!” aku protes” udah lihat yang sebelah sana?” sambil menunjuk arah di belakangku. Perlahan tapi pasti, kabut mulai terangkat, tampak puncak yang berwarna kehijauan menjulang di depan mata. Ibeth dan Joko bertangis-tangisan. Aku dan Ika ber-toast! Cukup lama kami beristirahat di puncak bayangan. Jam 07.45 kami lanjutkan lagi ke puncak berikutnya. Masih ada waktu. Setengah jam kemudian, kami tiba di…….


Pos 4 Puncak harapan (2065 m dpl)
Iya! Karena dari sini, kami masih melihat ada puncak lagi disana. Yang (ternyata lagi!) tidak terlihat dari puncak sebelumnya. “Ika! Kita kan nggak kesana ya?” tanya Hanief penuh harap. Di tempat ini kami temukan kawah kecil. Dengan belerangnya yang masih mengepul hangat. Kami berfoto-foto sejenak. Makan cemilan lagi. Dan tak putus-putusnya memandang puncak yang sebenarnya cukup membuat kami bertanya-tanya. “ada jalur lain ke puncak” kata Hanief sambil berdiskusi dengan Ika. Menunjuk punggungan gunung di sebelah. Puncak Guntur memiliki ketinggian 2249 m dpl. Artinya, dengan altimeter yang mungkin harus di kalibrasi masih sekitar 200 meter lagi kami harus naik. Berarti pula, masih ada puncak lagi bukan? Karena waktu, saat itu kami putuskan untuk turun kembali. Sedikit memutar mengitari kawah (siapa sih yang punya ide ngiderin kawah?) untuk mencapai camp. Ada jalur ternyata. Di beberapa titik tidak jelas, karena sudah lama tidak dilewati. tapi selanjutnya amat sangat jelas. Cukup berbahaya kalau dicoba untuk dilewati pada waktu gelap. Karena jalur sangat sempit dan tanah sedikit rapuh. Kawahnya cukup luas, sudah lama tertidur, sehingga sudah penuh ditumbuhi pohon dan semak.


Kami tiba di camp pukul 11.30 pagi dan bersiap untuk makan siang dan packing. Nggak boleh ngecamp lama-lama kayaknya. Kalo dibiarkan Hanief mungkin sudah mengeluarkan menu makan siang set lengkap! Tape goreng ditaburi keju parut. Kentang goreng Joko dan Ibeth serta penutup buah kaleng yaaaaaannnnnnng sueeegaaaaaaaaarrrrrrrr sekali! Jam 3 sore akhirnya kami sepakat untuk turun. Sepakat! Karena semula Joko hendak turun paling akhir. Ika dengan tegas berkata “kalau kita berangkat bareng, turunnya juga bareng ya? Aku tungguin deh. Jam 1 kita berangkat! Oke?” Joko dengan burger di tangan kanannya berkata “jam 3 ya” masih aja nawar. “Jam 14.30!”


Akhirnya turun juga “Aaaaamiiiiinnnnnnn!!!!” ucap kami mengakhiri doa. Setelah berdoa bersama, kami mulai turun. Waktu kemaren kami naik, aku sebenarnya sedikit was-was. “Kalau naiknya aja seperti ini, gimana turunnya besok ya?” Bener juga. Mulanya aku turun dengan hati-hati. Dengan kerir segede gajah begini. Nggak berani turun buru-buru apalagi sambil lari. Grogi juga melihat Ika yang sudah jauuuuuuuuh dibawah. Menyusul Hanief dan Iyus. Sedang dibelakangku masih ada Ibeth dan Joko. Heran deh! Hari ini justru nggak sepanas kemaren. Aku masih melihat Ika, Hanief dan Iyus timbul tenggelam diantara ilalang. Sedikit kabut yang mulai turun. Sempat pula berpapasan dengan rombongan pendaki yang baru naik. Akhirnya saudara-saudara, aku temukan juga jurus baru untuk turun. Dengan jalur berkerikil dan kemiringan yang cukup curam. Gaya meluncur! Sesekali jatuh dan bangun lagi. Berdiri sejenak “ups! Untung nggak ada yang liat!” Berpegangan dengan ilalang di kanan dan kiri. Menahan tubuh agar tidak melaju terlalu cepat.


Hingga akhirnya kami berempat bertemu, tertawa-tawa karena gaya ini dipakai juga oleh Ika. “kalo jatuh Ries. Buru-buru aku nengok.” Ujar Ika” Takut kalor Hanief liat!” sambil duduk ia bilang sebabnya. “masalahnya nih…. Harga diri! Harga diri!....” he..he…..  Tidak terasa, jam 18.00 kami berenam sudah tiba kembali di air terjun Citiis. Sudah gelap. Cukup terhibur karena gemerlap lampu kota Garut di bawah sana. Istirahat sejenak. Makan snack dan teh kotak. Buru-buru aku dan Ibeth melepas sepatu. Kami merendam kaki dan berjalan mondar-mandir di aliran air. Sedikit mengompori Joko, tak lama kemudian dia menyusul masuk. Lengkap dengan kursi kerajaannya. Setengah jam kemudian. Lanjuuutttt! Hanief memimpin di depan. Karena gelap, kami sedikit lengah. Jalur utama sih cuma satu, tapi ada beberapa jalur alternatif. Hingga pukul 7.30 malam. Kami mulai ngeh…. “Kenapa jalurnya berubah ya? Rasanya kemaren nggak ada aliran sungai sebesar ini sebelumnya” kata Hanief. Kami berbalik lagi beberapa puluh langkah, tapi dari sini mau kemana ? Nyasarrr… Hingga kami putuskan untuk berhenti. Sementara Ika dan Hanief pergi beorientasi untuk mencari jalur. Tiba-tiba Joko dengan gagah berani berkata sambil melepas kerirnya…”Sudah waktunya sekarang untuk menjadi pahlawan!” huuuuuuu …… dasar Supermen! (catet ya… supermen! bukannya parman!) Dan kini ia mencoba menerabas kebun di samping. Semoga bertemu dengan penggalian pasir. Tak lama kemudian ia kembali dengan tangan hampa.


Iyus menunggu tidak jauh dari kami bertiga (aku, Ibeth dan Joko). Akhirnya kami menghabiskan waktu dengan membuat reportase singkat via handycam, dan dengan HP siap ditangan (siapa tahu mau nelpon ECHC minta di jemput…he…he…) dan bertanya-tanya. “kayaknya Ika dan Hanief mulai orientasinya dari air terjun tadi ya?” tanya Ibeth “enggak deh…..” jawabku “kayaknya malah dari puncak! Diulang lagi, demi mendapatkan jalur yang jelas!” Huaaa…ha…haaaa… Tak berapa lama Hanief dan Ika kembali. Mereka yakin betul setelah curug Citiis, kami memang melewati jalur yang benar. Kami berjalan lagi, dan begitu tiba di titik yang meragukan, kami coba untuk melewati aliran air. Ternyata di seberang aliran itu, kami temukan jalur menuju penggalian pasir.


Jam 9 malam kami tiba di sana dan menumpang truk pasir yang akan turun ke kota. Sambil menunggu giliran truk diisi dengan pasir, kami sempat istirahat di satu-satunya warung yang buka malam itu. Satu jam kemudian, kami sudah duduk diatas pasir, terguncang-guncang hingga jalan utama. Truk akan terus ke Bandung. Hanief dan Iyus terus nebeng hingga Cileunyi, sedang kami berempat melanjutkan perjalanan dengan ojek menuju Terminal Guntur. Mandi di terminal, late dinner di warung sate en gule di depan terminal, sambil minjem TV pemilik warung buat nonton film pendakian hari itu. “ Dari sekian warung yang aku survey Ries, aku memang mencari warung yang ada TVnya! ” kata Joko sambil menghirup daging gule ..(busyeeet! daging?... diminum?...) sementara aku merasa kasihan kepada orang-orang yang kebetulan makan diwarung itu.


Jam 12 malem kurang 5 menit, kami naik bis “sapujagad” trayek Garut - Jakarta. Nggak berapa lama bis langsung meluncur ke arah Jakarta.


Subuh, ada satu sms yang masuk…..


Sutias, R. Joko 04.16
Jeruukkk!...jerukkkk!



Oh, tidaaaaaakkkk! Jeruk lagiiii????


 

Last Updated ( Saturday, 29 July 2006 )

0 comments:

 

hujan, jalak dan daun jambu Design by Insight © 2009