Arjuno... misteri jalur Purwosari



(masih dalam rangka re-posting catper yang tersebar entah kemana, Masih dengan kamera FM10 kesayangan. Memperingati trip bareng ibu-ibu PKK J dua tahun silam dengan Ika dan Jenny, 11-13 September 2004)


 


Tokoh petualangan kali ini:


 


IKA, Kali ini cewek yang hobbynya memakai kacamata hitam ala Jacky Kennedy itu, membawa dua kamera pocket berisi film berwarna dan hitam putih. Sempat mengacaukan satu toko film di Lawang, karena memborong segala macam merek film. Argumennya : “Eksperimen Ries! Eksperimeeeeenn!!!” Dan tanpa ragu-ragu ia akan mengusulkan penjual sayur dan beras untuk berfoto bersama. Yang paling membahagiakan adalah bila melihat dia sudah memakai kostum baju merah, kerudung kuning berikut tas pinggangnya dalam setiap pendakian. Cuma satu kata : Ika sekali deh!


 


JENNY, jangan heran kalo dari keril kecil karimorr ‘Doraemon’ nya bisa muncul berbagai barang ajaib. Mulai dari tenda, trangia, bahkan 4 liter air sudah tersedia disana, bermacam-macam snack dan permen pedas. Lengkaaaap! Cewek berkaca mata minus ini, selalu berpakaian hitam-hitam ala Permadi. Super kalem dan super sabar diantara kami bertiga. Ketika kami (terutama saya..he..he..) lelah amat sangat ketika tiba di camp. Dengan sigap, ibu yang satu ini sudah siap dengan trangia dan bertanya : “Aries, mau minum apa? Ika, mau minum apa?” Dengan kamera, handycam dan GPS ditangan…. hmmmmmmm …. Rasanya menyejukkan hati kalau kami bertanya : “sudah ketinggian berapa, Jen?”


 


Dan saya sendiri, Ariesnawaty ……………….


 


pagi jam 07.00 di pasar Lawang. Kami bertiga sedang berdiri di depan kios beras & minyak tanah. Cari info plus bertanya dimana kami bisa beli spirtus. Sebagian besar pembicaraan dilakukan dalam bahasa jawa kromo inggil, tapi untuk memudahkan kalian para pembaca, berikut ini terjemahan bebasnya.


 


Penjual beras: “Mau kemana nih?” (dengan gaya preman-nya ia bertanya, matanya menatap kami dengan tajam)


 


Jenny : “Rencananya kami mau ke gunung Arjuno Bu” (sambil berdiri di depan tumpukan beras, memilih-milih beras)


 


temen penjual beras : “Mau kemana sih Mbak-mbak ini?” (Temennya penjual beras yang kebetulan baru datang, berdiri di samping penjual beras, rasa ingin tahunya begitu tinggi sehingga dihentikan aktifitasnya hanya untuk berdiri disamping penjual beras)


 


Penjual beras : “tuh mau kesana!” (si penjual beras kemudian menunjuk ke arah utara, pandangan mereka berdua manyaput arah puncak gunung Arjuno)


 


Tanpa kami sadari, kepalaku dan kepala Ika menoleh, mengikuti arah pandangan mata mereka. Busyeeettttt!!! Tinggi amat! Puncaknya ada nun jauh disana. Berkilauan ditimpa sinar matahari pagi. Aku dan Ika berpandangan. Dalam bahasa telepati kami


 


Aries : “Ika, kalau arah mau pulang ke Jakarta kemana ya?”


Ika :” Jangan khawatir Madam Aries…, pelan-pelan kita pasti bisa kesana”


(Sedikit melegakan, tapi tidak cukup untuk menenangkan hati… he..he….)


 




awalnya :


Ketika mencari info jalur, beberapa teman sudah mengingatkan kami untuk berhati-hati karena jalurnya tidak aman buat pendaki. Ada beberapa jalur menuju puncak Arjuna, yaitu dari arah Tretes, dari Lawang atau dari Batu – Selecta.


Tidak sengaja kami melirik situs tetangga. Ternyata ada satu jalur yang bernama Jalur Purwosari. Jalur ini ternyata merupakan jalur peziarah. Banyak sekali situs-situs dan candi peninggalan kerajaan Majapahit. Tertarik dengan jalur ini, kami mulai mencari informasi lebih lanjut. Dan cukup melegakan karena seorang teman kami yang tahun lalu kesana merekomendasikan bahwa jalur ini AMAN sekali.


 


Untuk menuju kesana, kami naik kendaraan dari Surabaya menuju Malang. Sebelum mencapai Malang, kami turun di Pasar Purwosari. Dari sana kami lanjutkan dengan angkutan desa warna kuning menuju Desa Tambak Watu. Desa Tambak Watu ini merupakan entry point menuju Puncak Arjuna.


 


Berikut informasi pos, ketinggian (yang mungkin masih harus di kalibrasi dulu ya..) dan waktu perjalanan santaiiiiiiii :


·          Desa Tambak Watu (839 m dpl) - Hutan Pinus (1000 m dpl) 1 jam 30 menit


·          Hutan pinus – Gua Antaboga (1088 m dpl) 1 jam 30 menit


·          Gua Antaboga – (pertigaan) Punden Eyang Madrem (1320 m dpl) 45 menit


·          (pertigaan) Punden Eyang Madrem – Petilasan Eyang Abiyasa (1379 m dpl) 30 menit


·          Petilasan Eyang Abiyasa – Situs Eyang Sakri (1404 mdpl) 15 menit


·          Situs Eyang Sakri – Situs Eyang Semar (1725 m dpl) 1 jam 45 menit


·          Situs Eyang Semar – Wahyu Makutarama (1816 m dpl) 30 menit


·          Wahyu Makutarama – Puncak Sepilar (1917 mdpl) 15 menit


·          Puncak Sepilar – Candi Manunggale Suci (2289 m dpl) 1 jam 30 menit


·          Candi Manunggale Suci - Cemoro Sewu (2799 m dpl) 4.5 jam


(dalam perjalanan kepuncak akan bertemu dengan pertemuan jalur Purwosari dan Lawang)


·          Cemoro Sewu – Puncak Arjuna (3329 m dpl) 2 jam


 


Biaya : (ini data per sept 2004 lhooo…J)


·          Carter angkot dari Terminal Purwosari – Tambak Watu Rp 35.000


·          Sarapan di pasar Lawang+mbungkus nasi en lauk untuk bertiga Rp 29.000


·          Penginapan di Lawang (untuk bertiga) Rp 75.000


·          Spiritus di Pasar Lawang (lupa! Yg 1 literan kali ya..) Rp 6.500


 


foto-foto ? kesini aja yaaa.. arjuno .. dalam hitam dan putih

Read more

Shahdag episode : saya cinta kamu


"Aries, Saya tinta kamo. Saya tinta kamo.... Saya tinta kamoooooo!!!!!!" jerit sember dan ngebass milik Maryam Doustdar Fashtake tiba-tiba nongol memenuhi gendang telingaku *Inget suaranya pengasuh fungkeh di film The Nanny? Remember? Itulah dia J*


 


Earphone yang nangkring ditelinga, segera kulepas. *lagi killing time,denger musik*


 


"Aku cinta kamu. A-ku....Cin-ta ....ka-mu !!" ucapku pelan-pelan "With C,Maryam.. With C .. not tinta, but C-i-n-t-a"


 


Wheladalah *pak Raden Style*. Sulit banget nih cewek Iran buat ngikutin lidah melayu. Tapi salut juga buat usahanya. Sejak hari pertama, getol banget belajar bahasa Indonesia dan tanya ini itu.


 


"Oooh... I see. Aku cinta kamo" katanya mengulang. Meminjam mp3player-ku *nah lo?* dan tersenyum girang mendengar lagu-lagu berbahasa Indonesia yang kebetulan kubawa.


 


"Pake gih sono, dan ingat Maryam, ngomongnya ke cowok dong, jangan ke cewek!"


 


"What?"


 


Aku nyengir. Jelas dia nggak ngerti. Siang itu jam dua belas. Yang biasanya cerah, sudah dua hari ini hujan dan berselimut kabut tebal. Kami sedang dalam perjalanan pulang kembali dari pendakian gunung Shahdag. Gunung ini terletak pada rangkaian pengunungan Kaukasia yang membentang mulai dari timur laut Rusia, barat laut Georgia, di selatan Iran, dan sebagian Turki. Sementara Sungai Aras mengalir dari utara hingga ke sungan Kura di selatan pegunungan ini dan berakhir di laut Kaspi.


 


Akibat hujan yang turun semalaman, jalan luar biasanya becek dan licin. Tidak berani menanggung resiko, maka kami semua turun dari truk dan berjalan turun. Sementara beberapa dari kami, memadatkan jalan dengan menimbunnya dengan tanah.


 


Sengaja aku berjalan mendahuluinya. Aku mau ngobrol dengan temen-temen yang dari Azerbaijan. Beda truk sih. Jadi susah komunikasinya. Nah kesempatan deh.


 


Walau bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa Internasional, selain team Iran, mereka minim sekali penguasaan bahasa Inggris dan hanya paham bahasa Russia.


 


*Buhuhuuuu... me too! Bahasa Inggrisku juga nggak bagus-bagus amat. Kalo bahasa Russia ? yaaah itu sih ............ blank bangeeeett! L ; jadinyesel*


 


Tapi semua itu bukan menjadi masyalah. Karena kenapa saudara-saudara? Yaaak! ada satu bahasa baru yang tercipta akibat situasi saat itu, yaitu dengan ……bahasa tarzaaaaan, pake bahasa isyarat ajaaaaa J


 


Ajaibnya, dengan bahasa kayak gitu, kami bisa ketawa cekikikan kalo sudah ngobrol dan saling mengumpat mumpung kagak ngarti hahahaha.


 


Tiba-tiba, Inara, cewek dari Azerbaijan berjalan menyusulku. Beriringan dengan Maryam *the nanny. Masih inget?* mereka berdua asyik mendengarkan walkman dan bergoyang. *uh dasar!* dan terus menghapalkan kalimat : Aku tinta kamooo...aku tinta kamooo...aku tinta kamooo"


 


Hingga suara mereka sayup-sayup menghilang. Giliran aku yang terdiam disini.


Meresapi pemandangan sekeliling yang mulai terkuak dari kabut. Padang rumput dimana-mana. Sesekali terdengar suara gonggongan anjing penggembala dari kejauhan.


 


Hmmmmm...... indahnya!


 


  


Serpong, 6 September 2005


 


fotonya silakan nyambung kesini :Suatu tempat di Azerbaijan

Read more

Merbabu : Episode dua jam? Dua jaaaam???


 


*Edisi posting ulang J, dalam rangka mengumpulkan tulisan yang tercerai-berai entah dimana. kali ini adalah perjalanan ke Merbabu 16-17 Juli 2005, bareng Ika, Joe, Age, dan Haris*


 



Apa yang terjadi ?


 


[delapan belas jam kemudian]


 



Pagi-pagi. Diatas ketinggian 1600 mdpl. Di basecamp dukuh Tritis. Di kediaman Pak Amat.


 


[ketua RW setempat. Rumahnya bener-bener berupa tipologi rumah jawa. Adeeeeem sekali. Dengan jendela yang kecil-kecil. Dan lantai semen. Kami menempati rumah yang sebenarnya dipakai untuk menyimpan satu set gamelan. Berseberangan dengan kumpulan gamelan ini, tergelar tikar tempat kami tidur semalam]


 


Aku masih bergelung didalam sleeping bag. Masih ngantuk euuy!


 


Sambil mengguncang-guncangkan kakiku *yang terjulur jauh melewati tikar* Age membuka salam :


 


"Kata Pak Amat. Kalo ada yang nyasar, yaa.. nyampenya ya di Tritis ini!"


 


Dengan nikmatnya ia menghirup teh panas dan mengigit gula batu. Pada waktu yang bersamaan, Haris sedang menikmati rokoknya. Sementara Ika sudah menghilang *hunting foto*.


 


"Haiyyaaaa!!!" aku terlompat.


 


Pantesaaaan. Kemaren, kok lamaaaa banget. Lebih dari 7 jam turun. Maksud hati pengen turun via selo. Apa daya? Kami melambung terlalu jauh.*Sudah takdir kali ya, dari kemaren kerjaannya ngiderin Merbabu!*


 


Walau sepanjang jalan turun, Gunung Merapi, New Selo, dan menara pemancarnya jelas banget terlihat dari punggungan Merbabu. Tapi jalur terus 'membuang' ke kanan. Jauh lebih jelas daripada jalur yang kekiri. For sure, jalurnya panjaaaaaaaannng sekali. Beberapa kali pindah punggungan.


 


[sobbing]


 


Akhirnya, kerlip lampu penduduk mulai terlihat. Age yang berjalan didepan berteriak histeris.


 


"lampu! Lampu!!!"


 


Yeee.. semua juga tau!


 


Haris yang berjalan tertatih-tatih di belakangnya *catat: lutut kanan, bekas cedera waktu masih muda. Makluuumm veteran. Pletaaaak!!! Aduh Ris.Ampuuun!!* Dengan tongkat kayu di tangan kanan dan kiri. Ia mengucap syukur sambil menangkupkan kedua belah tangannya.


 


"Si buta dari goa hantu aja tongkatnya cuma satu. Kalo saya? Tongkatnya ada duaaaaaaa"


bener-bener jaka sembung deh ….nggak nyambuuuuung!


 


Berdua mereka mendiskusikan, lampu mana yang paling terang. Ada 3 lampu neon yang terang banget. Dengan asumsi itu, sudah dipastikan. Tanda-tanda kehidupan sudah nampak. Desa terdekat sudah ditangan.


 


Ika, aku dan Joe yang berbaris dibelakangnya, berperan sebagai pengamat.*Kita lihat saja drama di depan ini. Endingnya seperti apa.Hehehehe.*


 


Tiba-tiba, Age dan Haris berseru-seru. Nadanya penuh dengan kekecewaan. Kehampaan dan keputus-asaan. "Lho? Kok hilang? Mana lampunya? Manaaaaaa?!!!"


 


Karena tiba-tiba gelap. Lampu rujukan tidak lagi terlihat. Dan selama hampir 2 jam berikutnya, mereka berdua diam membisu. Hingga akhirnya, menyadari kebodohan masing-masing. Hehehe...lampunya dimatiin orang toh! Pantes!


 


[end of lamunan]


 


"Ries!" kata Joe. "Udah di tunggu di depan, tuh! Kita foto bareng sama keluarga Pak Amat yaaa?"


 


Aku tersenyum. Menyusul Joe, Ika, Haris dan Age yang sudah siap bergaya. Bersama Pak Amat, Bu Amat, Mas Budi + anak Istri. Berikut tetangga kanan, kiri depan dan belakang. Kami berbaris di teras depan. Dan nyengir bareng :


 


" Saaay Cheeeeesee!!!!"



 


 


Serpong,


29 Juli 2005


 


[sore itu juga, perjalanan kami teruskan ke gn. Merapi. Naik dan turun via Selo. Haris, pamit untuk pulang kembali ke Jakarta. Kami berempat lanjuuut! Walau status Merapi yang masih waspada, tapi berdasar info di basecamp Selo, masih aman untuk didaki. Selama pendakian naik dan ketika kami turun keesokan harinya, sama sekali tidak berjumpa dengan pendaki lain. Pasar Bubrah yang biasanya ramai. kini sepi. Hanya kami]


 


foto-foto?   Merbabu Sore Itu


 

Read more

Raung episode : Nyasar!!!

(diceritakan ulang, peristiwanya terjadi 5-7 Mei 2005 lalu.. pengalaman tak terlupakan bersama Jenny, Ika, Kris, dan Heri ...)

Minggu lalu, seperti biasa kalo ketemu dengan harpitnas.... Kami berlima [saya, Ika, Jenny, Kris dan Heri] penasaran pengen berkunjung ke Raung... Yang lokasinya ..jauh..uh...uh... di ujung pulau Jawa. Rencana, sebenarnya sudah disusun jauh hari sebelumnya. Sekaligus agenda tambahan, pengen dateng ke acara mantenannya Masnur di Malang pas tgl 8 Mei lalu. Maka.... Inilah, secuplik kisah perjalanan kami.

“D’oh!” *Homer simpson style* batinku. “Nyasar!!!”

Sendirian. Sisa air hanya tinggal dua tegukan lagi, plus sebatang coklat di dalam tas berikut keril segede kulkas yang rasanya bertambah berat saja.

situasi : dalam perjalanan turun. Karena ngebut..but..but… lari, jalan cepat, gedubrak* hihihi..yang ini jatuh* dan lari lagi. Hal ini berlangsung terus sejak Pos Pondok Angin. Walhasil, kami semua berjalan terpisah satu sama lain

Hari itu sudah mulai gelap. Baru sadar. Kayaknya, kemaren nggak lewat sini deh. Emang, sejak 5 menit yang lalu, aku juga sudah merasa aneh. Dari hutan pinus yang rapat, lho kok malah menjadi kebun? Malah tadi sempet lewat rumah ladang penduduk dan sekarang justru bertemu dengan jalan umum berbatu. Yang aku yakin sekali kalau diterusin…. Pasti bakal nyambung ke base camp pendakian gn. Raung di pesanggrahan, ds. Sumber Wringin.

Mengapa tidak diteruskan saja saudara-saudara ? *tanya penonton* sabaar… sabar ….itu karena tak lain dan tak bukan, kagak tau arahnya euy! He..he.. Yang aku tahu hanya belok kanan atau kiri…hi..hi…

“huuuaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Kompas nggak megang, sempritan hanya tinggal kenangan… mau tanya orang? Nggak ada sama sekali. “Jangan panik” batinku. Hanya ada satu jalan.

Balik arah !!!

Begitu aku berbalik, “Uh ! tanjakan lagi, Maan!” Ini dia yang bikin males. Sementara baju sudah dari tadi basah oleh keringat. Pelan-pelan aku berjalan. Seekor anjing *yang demi Tuhan, entah dari mana datangnya* Tiba-tiba muncul. Menyapaku singkat “guk!” dan berlari membuka jalan. Melewati lagi ladang. Melewati lagi hutan pinus yang gundul akibat baru dibuka oleh penduduk.

Hingga tiba di rumah ladang. Syukur deh.. ternyata ada seorang ibu yang baik hati. Beginilah nasib akibat tidak bisa berbahasa setempat [catatan : bahasa jawa]. Komunikasi antara kami berdua [dan seekor anjing tadi, yang ternyata milik si ibu] kami lakukan dengan bahasa masing-masing.

Untuk memudahkan pembaca, lagi-lagi terpaksa saya terjemahkan bebas sesuai interpretasi saya pada saat catper ini ditulis.

saya *panic style* : “ Ibu .. tau nggak, biasanya kalo mau ndaki …startnya dari mana ?” [setelah itu aku menyesali diri, ini pertanyaan bodoh! …]

Ibu *bingung style* : @#^%&(*)*()*&^^&%^&!q#

It’s me again *sekarang lebih terkendali* :“ Ibu .. boleh saya minta air? “

Ibu *nyengir*& : “@#^%&(*)*()*&^^&%^&!q#” [dan mengambil botol airku. Mengisinya penuh-penuh]

saya *ikut-ikutan nyengir* :“Kalo ketemu dengan orang seperti saya [ehem.. ehem….] tolong bilangin kalo saya balik lagi “ [dan tetap sangsi, apa perlu saya menulis surat wasiat?]

Ibu *dan murung* : “@#^%&(*)*()*&^^&%^&!q#”

saya *bingung* : “Artinya bu?”

Ibu *tetap murung* : “@#^%& nggak takut?” [sambil menunjuk-nunjuk kearah sana]

saya *lha? Bisa bahasa Indonesia toh?* : “Maksudnya, apa nggak takut jalan sendirian?” memandang sekeliling, memang sudah mulai remang-remang. Si ibu mengangguk dengan semangat.

saya lagi *turut semangat* :” Yaaa.. takuuuut! .. tapi, saya jalan aja deh. Mumpung masih sedikit terang. Mungkin saya udah ditunggu temen-temen nih Bu.”

Ibu *tetap murung* : “@#^%& tidur disini aja”

saya *berusaha untuk tidak murung dan tetap nyengir* :”Makasih ya Buuu. Tapi, saya udah janji. Pulang bareng sama temen-temen”

Aku pun meneruskan perjalanan. Beneran, masuk ke hutan pinus lagi. Dan bertambah gelap. Uh! Hajar terus. Nggak sampai 15 menit, aku sudah tiba kembali di jalur semula. Meletakkan keril dan membongkarnya untuk mengambil senter. Tiba-tiba, ada suara derap sepatu orang berlari mendekat. Dengan headlamp di kepala, siapa lagi kalau bukan Kris.

Kejadiannya begitu singkatnya.

saya : “Kris? Lagi nyari siapa?” *padahal, sungguh mati! Aku sih udah ke ge er –an. Pasti lagi nyari aku*

Kris [nyaris pingsan] : “Yaaa .. ampuuuuunnn!” *dan berbalik arah; berlari kembali ke arah semula*

Saya [bingung mode on] :”Lho ? Kok lari ? Idiiih…. Apa dia takut ya?”

Sayup-sayup aku dengar Kris berteriak …”Wooooiii..! Udah ketemuuuu!!!”

Setelah itu. Kejadian terlalu cepat untuk dicatat disini. Kris mengangkut kerilku. Aku udah nggak sabar pengen cerita. Dengan kejam Kris hanya menyahut sambil menepuk-nepuk bahuku.

“Laen kali, kalo mau nyasar, berdua dong… jangan sendiriaaaan”

Ika dan Heri menyambut kami berdua. Kemudian kami berempat berpelukan ala teletubbies *catatan: sedang Jenny menunggu kami di batas pinus*

Happy ending? Not so faaaaast!

Jenny [tampang cool]: “Tadi ketemu Ika nggak sih? Bukannya kalian jalan bareng?”

saya [tampang lega, karena udah nyampe]: “enggak tuh. Nggak ketemu siapa-siapa. “

Jenny [wajahnya memucat] : “Lho ? kalo gitu .. yang tadi siapa dong?”

Semua memasang telinga… *he..he… iyalah … telinganya masih lengkap kok*

Menghentikan aktifitas masing-masing dan tekun mendengarkan tanya jawab antara aku dan Jenny. Beginilah ceritanya.

Versi Jenny :

Dalam perjalanan turun. Setelah pertigaan gn. Suket - Raung. Kami mulai jalan. Heri dan Ika duluan. Trus gw nyusul. Aries, dan Kris masih di pos. [ngemil] Ditengah perjalanan, Aries menyusul. Gw membuka jalan. Biar dia duluan aja. Dia bilang. "Jen... duluan yaaa? hati-hati!"

Beberapa puluh meter setelah Aries melewati gw, gw lihat dia berhenti di depan sebuah pohon besar. Mendadak ada orang muncul dari situ. Perkiraan gw sih, orang itu adalah Ika. Terus mereka berdua terlibat pembicaraan seru. Kemudian, mereka berdua berjalan bersama-sama. Gw berusaha nyusul,tapi nggak kekejar.

Versi aries :

Setelah kenyang *menghabiskan satu jungle juice dan sekantong kacang bali* Dari pertigaan gn. Suket – Raung aku pamit kepada Kris. Mau duluan dan jalan pelan-pelan. Nggak berapa lama, aku ketemu Jenny. Dengan isyarat, dia persilakan aku buat maju duluan. Setelah itu aku jalan ngebut sambil bernyanyi-nyanyi riang [mengikuti lagu dalam walkman]. Nggak ada perasaan aneh sedikitpun, kecuali sedikit malu akibat pech control yang kurang baik .[he..he..] Dari situ aku jalan terus. *sampe nyasar tadi ..hi..hi…*. Sama sekali nggak ketemu Ika.

Pertanyaanya -daftar dibawah ini muncul setelah kami melewati perenungan yang cukup mendalam-

[1] Siapakah yang dilihat Jenny ?
[2] apakah aku bener-bener ngelewatin Jenny ?
[3] apakah  Jenny yang aku lewati tadi?
[4] apakah itu Jenny?
[5] apakah itu aku?

[6] apakah itu Ika?

Akibatnya bisa ditebak, begitu mendengar penuturan kami berdua, wajah yang lain pucat satu demi satu. *dan saling melirik kaki masing-masing …. Huaaa…napak ke tanah nggak yaaa?*

Happy ending? Yup! Sekarang boleh dibilang begitu. Magrib itu kami semua sudah duduk dengan manis dalam bak belakang pick up yang menjemput kami. Senangnya, sebentar lagi akan tiba di base camp pendakian Raung di Pesanggrahan.

Setiap akibat, mungkin ada sebabnya *atau sebaliknya ya?* Setiap dari kami, menyimpan beribu pertanyaan didalam benak masing-masing. Setiap dari kami berdialog pula dengan dirinya masing-masing.

Tentu, ada seribu pelajaran yang bisa dipetik…hmmmmmm………………..

Serpong, 16 Mei 2005

Tambahan :

(1)    Base camp pendakian gn. Raung. Silakan kontak sekretariat Kelompok Pemandu Wisata Gunung Raung [Pesanggrahan]

Attn : Bapak Solikhin/ Ibu Parman
Kecamatan Sumber Wringin
Jl. Gunung Raung No. 45
Bondowoso 68287
telp [62-332] 321 287- 321 305

(2)    biaya pemandu sifatnya borongan, untuk sekali antar tarif @ Rp 150.000; souvenir di Pesanggrahan : tshirt rp35.000, stiker rp1500, badge rp5000 dapat dicarikan pick up maupun carteran kendaraan to bondowoso, surabaya, atau malang.

(3)    Buat temen2 yg hp-nya selalu out of area setiap trekking ke gunung, jangan khawatir... Dari bawah sampe puncak, selalu ada sinyal!

 Foto-foto selengkapnya silakan diteruskan kesini : with Raung uh I'd love to dancin with the sun....

 

Read more

Galunggung Episode : "Hari mbolos sedunia”


Gn. Galunggung [2167 mdpl] 26-27 Juni 2005 


 


Prends,


Perjalanan ini terinspirasi *cailaaa* dari perjalanan Ical dan Hanif ke Talaga Bodas sebelumnya. Setiap ketemu, setiap japri, mereka selalu bilang : "Kapan mau kesana? Ditemenin deh!"


 


bulan berganti bulan, tahun berganti tahun *errrr.. belum ding!* waktunya nggak pernah cocok. Hingga akhirnya, akhir bulan lalu, kami berlima: saya, Ika, Joe, Joko dan Tuti berangkat kesana. Kempiiiiiiing!


 


Catper berikut bukan mengenai Talaga Bodas siy, tapi trip lanjutan untuk kemping ke gn. Galunggung, yang kebetulan nggak jauh dari situ. Ika pernah kesini sebelumnya. *but, It was long long time ago* Masih inget letusan hebat sekitar April 1982 ? Generasi yang lahir sebelum tahun 80an pasti inget dong. Gelap dan hujan abu pada mobil, rumput, pohon, atap rumah. Semua!


 


"Ika! Banguuuun!" kata Joko perlahan. "Mau lihat matahari terbit atau matahari tengah bolong?"


 


"Kweks!! Matahari tengah bolong?" pikir Ika. Panik mode : ON, mendadak ia duduk dan bangun.


 


"Tenaaaang! Tenaaaaang, Mbakyu. Jangan gunakan kekerasan." Buru-buru ia melipat sleeping bag dan bersiap.


 


Aku yang tidur disebelahnya, malah berbalik dan kembali ke posisi tidur seperti semula. Malesss bangeeeeettt! Masih gelap. Dari balik celah sleeping bag, aku melihat puncak Galunggung bertabur bintang dan sedikit kabut dibawahnya. Tangga menuju puncak, tidak terlihat dari sini tapi atap lapak yang ada di tepi rim crater, samar terlihat. Matahari yang ditunggu-tunggu, belum juga muncul.


 


Setelah turun dari Talaga Bodas, semalam kami tiba disini dengan angkot carteran dari Rajapolah dan lanjut menuju entry point kawasan wisata gn.Galunggung yaitu melalui Indihiang, ancer-ancernya sih dari jalan utama Bandung-Tasikmalaya, sekitar 4 km sebelum kota Tasikmalaya.


 


Rencananya sih mau ngecamp di tepi danau di kawah Galunggung. Tapi udah gelap euy! Capek pula, dan ide untuk ngecamp di lapak kosong yang banyak berjajar di dekat lapangan parkir cukup menggoda. Hasilnya? Satu lapak yang kami 'bajak' untuk tempat tinggal sementara kami.


 


"Capek sekali saya!" kata Joko berulang-ulang. Kami semua memandangnya dengan iba.


 


"Wajar aja, Mbakyu. Profesi ganda sih. Dari Joko Darwis *sang photographer* Joko Chaerudin *si jurumasak* hingga Djoko Djangkaru di embat jugaaa!" jawab kami bersahut-sahutan.


 


Di meja saji kini sudah tergelar 2 sleeping bag milikku dan Ika. Meja dapur, sekarang menjadi tempat persediaan makanan kami berikut kompor trangia. Bangku panjang di sisi timur, dan selatan digunakan sebagai tempat tidur Tuti, Joko dan Joe.


 


Senin pagi itu *hmmm... hari bolos sedunia* gayanya sih mau summit attack. Tapi baru jam setengah enam pagi Joko, Ika dan Tuti bergegas menuju tangga [catat : jalur wisata; 620 anak tangga, dari area parkir kawah gunung].


 


Berhubung barang-barang nggak ada yang jaga, akhirnya yg mau muncak dibagi menjadi dua kloter. Mereka bertiga pergi duluan, sedang aku dan Joe rencananya baru naik setelah mereka turun.


 


Aku berbalik lagi. [masih posisi ngulet kayak ulet bulu hehehe]. Kali ini menghadap belakang lapak yang terbuka. Sebenernya, nongkrong disini asyik juga. Semalem, malah bisa lihat kerlip cahaya lampu kota Tasikmalaya. Sementara kabut dibawah mulai naik. Matahari mulai muncul. Hangatnya!


 


'Neng ! Bangun Neeeeng !"


 


idiiiih. Jadi malu deh. Rupanya, pemilik lapak sebelah, lagi bebenah membuka warung. Tak lama kemudian ia datang membawa dua gelas kopi+gorengan pesanan Joe. Kami berdua, sarapan dulu dong! *aku dan Joe maksudnya, hehehe... bukan sama pemilik warung sebelah*


 


 


Jam 8 pagi, rupanya Tuti turun duluan.


 


"Huaaaa!!! Belum bebenah nih!" Wong aku masih duduk berselimut sleeping bag. Rambut masih acak-acakan. Buru-buru aku menelan sisa potongan pisang, meneguk kopi dan menoleh ke arah Joe.


 


"Lanjut ?"


 


Joe nyengir. racun mode : ON


 


Soalnyaaaa, sepagian tadi banyak sekali orang yang lalu lalang di depan lapak kami *hmm... maksudnya lapak pinjamaaaann* waktu kami tanya, mereka bilang mau mancing di danau. Rupanya ada jalur pendaki, short cut langsung menuju danau tektonik yang berjarak sekitar 2 km dari puncak kawah.


 


Setelah Tuti siap untuk ganti shift, dan aku sudah rapi jali. Akhirnya kami berdua berjalan pelan-pelan mencoba jalur tersebut. Entrynya persis di depan mesjid di ujung lapangan parkir kawah. Jalur naik berupa pasir melipir kearah utara dan tidak terlalu terjal. Setelah memotong punggungan kawah, jalur berganti turun hingga tepi danau. Kurang lebih setengah jam perjalanan


kami sudah tiba di dasar kawah. Pada dataran luas di sisi utara danau. Aku memutar badan pelan-pelan 360 derajat. *maap maap deh, yang merasa dirinya komidi putar*


 


'Huuaaaaaaaa!!!!!"


 


Speechless! Bagus banget!


 


Kawah Gn. Galunggung memiliki bentuk seperti tapal kuda yang terbuka kearah tenggara. Aku berada pada kawah yang dilingkungi oleh tebing [lebih dari 3684 tebing, terkenal dengan sebutan sepuluhribu tebing, menurut info yang kubaca, cmmiw] akibat hebatnya erupsi pada gunung ini. Di satu sisi, malah aku melihat beberapa aliran air terjun. Wuih! Tinggi amat! Dan alirannya membentuk sungai kecil dan mengalir langsung ke danau.


 


Sementara itu di sisi barat, di seberang danau, nampak tangga semen yang langsung turun hingga tepi danau. Di sisi barat lautnya, nampak jelas jalur berpasir naik menuju tepi kawah berbentuk huruf Z. Nhaaah ...... dijalur zorro itu deh, kami melihat 'dua sejoli' berbaju merah dan hitam sedang berusaha keras untuk naik.


 


Siapa lagi kalau bukan Joko dan Ika. Beberapa jam kemudian, Ika berkomentar kepadaku waktu kami ngumpul di basecamp :


 


"Bayangin Ries. Duaaaaa jamm! Hanya untuk di tanjakan itu. Baru jalan sebentar udah dibilang Stop Ika, foto duluuu! Huahahahaha"


 


Joko tak mau kalah, dan menyahut :


"Sebenernya, kapasitas memorycard udah abis. Mulai deh, mendelete foto dan pilih-pilih. Yang ini Ika, boleh di hapus? Setelah acc, fotooo lagiiii......hihihihi"


 


*Uh, dasar!*  Setelah beryuhuuuu-yuhuuu sejenak dengan kedua sejoli itu, akhirnya kami lanjutkan perjalanan mengitari danau. Melewati lautan batu, melompati aliran sungai dan berjalan menuju pintu gerbang masjid. Masjid? Masjid ?


 


Iya! Ada masjid kecil disini.


 


Tepat di sisi barat danau. Tepat dibawah tebing yang mulai menghijau oleh pakis. Dari gerbang hingga mesjid, ada jalan setapak yang telah diperkeras oleh batu dan semen. Mesjidnya sendiri mirip seperti pendopo. Terbuka di ketiga sisinya. Didepannya ada kolam setinggi pinggang untuk tempat wudhu. Ada ornamen vertikal seperti daun-daunan di tengah kolam. Sumber airnya, kelihatannya sih dari mata air langsung. Menggelegak terus mengisi kolam tersebut.


 


Hampir sejam aku dan Joe duduk disana. Suasananya agung sekali. Begitu tenangnya!


 


"Lagi mikir apa Joe?"


 


Bahkan seorang Joe pun hanya bisa tersenyum.


 


 


Serpong, Rabu 6 Juni 2005


 


[Waktu balik, dari jalan setapak semen menuju gerbang mesjid, ada jalur tanah ke arah kanan. Jalurnya jelas sekali. Melipir punggungan dan langsung menanjak. Yang paling menderita sih, waktu lewat tanjakan zorro itu deh! Hihi... Maju selangkah, mundurnya 5 langkah :) Jam setengah dua belas siang pula! Hiks! ]


 


 


tambahan :


galunggung-terminal bis tasikmalaya [carter angkot] total Rp65,000 bakso+teh botol di terminal bis Tasikmalaya untuk 5 orang total Rp28,500 bis AC Tasikmalaya-Jakarta via tol Cipularang @Rp40,000


 


foto-foto silakan nyambung ke sini yaa Galunggung…. How the winds are laughing

Read more
 

hujan, jalak dan daun jambu Design by Insight © 2009