Duh Rajabasa ... :)


 


  



(Sebagian foto silakan lihat disini the Chronicles of Rajabasa - the nyamuk, the semut and the pacet!)


 


Gunung Rajabasa 1281mdpl [4,203feet]; terletak di Lampung, Sumatra, Indonesia; Latitude: 5.78°S  5°47'0"S  Longitude: 105.625°E 105°37'30"E


 


Tipe gunung strato; masih ada aktifitas Fumarol. Aktifitas erupsinya tidak diketahui, tapi terakhir dilaporkan ada pada bulan april 1863 dan mei 1892. Vegetasi dan hutannya sangat variatif dan cukup 'perawan' karena letaknya hampir berada di tepi pantai. 


 


Menuju kesana :


Banyak sekali angkutan menuju kesana. Dari Jakarta dapat ditempuh dengan bus yang berangkat dari terminal Kampung Rambutan atau terminal lainnya yang menuju pelabuhan Merak di Banten [ac ekonomi Rp 20.000] kurang lebih sekitar 2 jam perjalanan, kemudian dilanjutkan dengan kapal ferry [bisnis dewasa Rp 10.000 atau ekonomi Rp.7700] yang selama 2 jam menyeberang menuju pelabuhan Bakauheni di Lampung. Selepas Pelabuhan Bakaheuni tinggal naik angkot dari terminal yang ada di depan pelabuhan, angkot berwarna kuning [Rp 10.000] tujuan Kalianda dan turun di daerah Sukamandi, persis berhenti di depan pintu gerbang desa menuju desa Sumur Kumbang. Alternatif lain adalah naik angkutan umum dan turun di depan kantor Pemda Lampung Selatan baru dilanjutkan dengan ojek menuju ds. Sumur Kumbang. Lama perjalanan sekitar 30 menit. Setelah itu langsung disambung dengan ojek [Rp 10.000] tujuan Kampung Sumur Kumbang dengan total waktu tempuh sekitar 15 menit.


 


Perlu diketahui di Kampung Sumur Kumbang ini banyak sekali komunitas penduduk bersuku Sunda. Bila perlu, di kampung ini pula dapat meminta bantuan kepala dusun untuk mencari penunjuk jalan.  


 


 


Info jalur :


Total waktu pendakian sekitar 6-8 jam perjalanan. Ada sekitar 6 pos hingga ke Puncak. Di puncak ada jalur turun menuju kawah yang sudah menjadi danau. Cukup banyak tempat buat ngecamp selama jalur pendakian. Bekal air sebaiknya dipersiapkan sebelum naik. Masih banyak sumber air sebelum pos 1, setelah itu, tidak ditemukan sumber air. Tetapi yang harus diperhatikan adalah pacet, karena Rajabasa sendiri terkenal sebagai ‘gudang pacet’. Jalurnya sendiri cukup aman dan jelas mengikuti satu punggungan gunung. (Menurut penduduk setempat, bila ingin turun ke danau, waktu tempuh dari puncak sekitar 0.5 – 1 jam perjalanan,red)


 


Info lainnya :


Danau tersebut menjadi tujuan utama bagi penduduk lokal maupun orang yang khusus datang untuk berziarah. disana ada yang disebut ‘batu cukup’ ; konon sebanyak apapun orang berdiri diatasnya, akan selalu cukup. Kalau beruntung, orang yang datang dapat menemukan batu kabah. Mengenai ukuran sendiri kurang jelas, ada yang bilang seukuran 1x2 meter. Apakah batu tersebut dapat mengarah ke arah kiblat atau berasal dari Kabah? *masih jadi misteri*


Ada satu pantangan/ pamali yang dipercaya oleh penduduk Sumur Kumbang disana, apabila hendak membuat api unggun agar tidak mematahkan ranting dengan tangan, tetapi harus ditebas dengan pisau.


Kebanyakan kendaraan umum tidak beroperasi lagi setelah gelap. Pastikan kembali ke kota sebelum gelap.


Informasi lain mengatakan bahwa untuk menuju Gunung Rajabasa dapat ditempuh dari desa terakhir yaitu dari desa Cugung. Waktu tempuh hingga ke puncak sekitar 5-6 jam perjalanan. *but, not corfirmed yet*


Berikut info detail dan amat sangat deskriptif tentang jalur. Soale, kemaren, bener-bener miss-oriented. Minim info dan nekad nggak bawa peta. Nggak sempet nyatet utara selatan [walo kompas ada di tangan] karena sibuk ‘siaga satu’ terhadap pacet. Jadi, sorry, orientasinya hanya ada  dua, yaitu : belok kanan atau kiri J


 


/1/


Dari prapatan tukang ojek, yang lokasinya ada dibawah pohon besar di tengah ds. Sumur Kumbang, ada jalan batu menuju kampung terakhir. Nggak begitu jauh sih, paling sekitar 200-300 meter nanjak. Kalo mau menghemat tenaga, sebaiknya pake ojek saja. Per orang hanya Rp 2000. Nanti akan diturunkan di percabangan jalan. Ke kiri berupa jalan batu yang terus ke atas ke arah kampung dan jalur setapak tanah yang berbelok sedikit ke arah kanan menuju kebun penduduk.


 


Jalan tanah tersebut dibatasi oleh pagar kebun penduduk disisi kanan dan halaman belakang rumah berikut kandang ternak di sisi kiri jalur. Jalan relatif datar sekitar 0 s.d. 15deg. Jangan tergoda untuk terus naik keatas, karena daerah kebun ini banyak sekali percabangan dan melambung terus untuk berpindah punggungan. Banyak sekali percabangan, begitu bertemu dengan percabangan, terus orientasi ke kanan.


 


/2/


Tidak lama kemudian bergabung jalan setapak yang datang dari bawah, jangan ragu, orientasi terus ke atas. Setelah pertemuan jalur ini, tak lama kemudian di sisi kanan jalur akan kita temui gerbang kecil dan jalan setapak yang telah diperkeras dengan semen menuju makam Ki Hj. Mas Mansyur. Konon ini adalah tempat moksa-nya Ki Hj. Mas Mansyur.


 


Jalan kemudian sedikit menurun, dan kemudian naik kembali. Begitu bertemu dengan percabangan, ada satu yang naik keatas menuju kebun dan satu lagi kearah kanan, ambil yang ke arah kanan. Jalan masih berupa jalur tanah dan batu. Hati-hati karena licin sekali. Tidak berapa lama kemudian akan ditemui tembok bekas bangunan yang sudah berlumut karena tuanya. Tidak jauh dari situ juga akan ditemui bekas runtuhan tembok bangunan yang sudah berlumut dan satu buah rumah ladang yang kosong.  Berikut akan ditemui bongkahan batu besar bekas muntahan letusan gunung[?] Kemudian jalur mengitari tepian bukit berupa kebun kelapa, jalan sedikit menurun dan kemudian melewati aliran air.  


 


/3/


Setelah melewati kebun kelapa ini, jalur masih relatif datar, tidak jauh dari situ akan kita temui percabangan yang cukup jelas. Satu lurus ke depan, dan satu lagi sedikit berbelok ke kiri, ambil yang kiri.  Setelah itu sekitar 5 menit berjalan, mulai ditemui rumah ladang milik penduduk ada di sebelah kiri jalur.  Rumah bilik sederhana dengan bale-bale depan, lumayan untuk beristirahat.  Namun perlu diwaspadai, karena begitu kita duduk, barisan pacet siap menyerbu, dan puluhan nyamuk siap menempel pada kaki dan tangan yang terbuka. Bahkan, meski sudah memakai celana lapangan yang cukup tebal, sungut nyamuk itu masih dapat menembusnya.



 


Setelah rumah ladang tersebut, masih kita lewati kebun kopi, duren dan cokelat di sepanjang jalan. Terus naik. Jalan terus berorientasi ke kanan. Tidak jauh dari persimpangan jalan tersebut, ada sebuah rumah kebun dengan pancuran air yang terus mengalir di belakang rumahnya, rumah tersebut milik Pak Adjat, kami sempat mampir untuk beristirahat, Kebetulan keluarga Adjat  sedang berada di kebun. Bila sedang berada disana dengan senang hati mereka akan menjamu para tamunya dengan segelas teh dan kopi hangat.



 


/4/


Selepas rumah Bapak adjat ini, jalan sedikit melipir punggungan kearah kanan, kemudian naik sedikit keatas. Setelah itu akan kita temui barisan beberapa pohon kelapa, jangan terjebak untuk terus naik keatas, karena kami sempat naik cukup jauh, jalur jelas sekali. Katanya memang ada jalur ke puncak dari situ, tapi setelah kami coba lewati, alias sempet nyasar kesana, lama-lama jalur makin tidak jelas. Dan hilang di salah satu kebun yang ada disitu. Jadi, begitu menemukan jajaran beberapa pohon kelapa [kalau dipetakan, hampir membentuk lingkaran] dan sebuah pohon pinang, itulah tandanya bahwa kita harus berbelok turun. Ada jalur ke bawah. Ikuti terus jalur tersebut, melewati jalan sempit penuh batu dan licin karena lumut. Jalur terus mengarah kebawah, tidak lama kemudian akan kita temui aliran air, tidak begitu besar. Setelah menyeberangi aliran tersebut, akan kita temui beberapa bongkahan batu yang cukup besar. Orientasi masih terus turun kebawah. Kemudian sedikit naik dan bertemu kembali dengan pancuran air, dan jalur kembali turun kebawah. Kelihatannya mulai berpindah punggungan. Tak lama kemudian akan kita temui rumah ladang tepat di sisi kiri jalur.  Setelah melewati rumah ladang tersebut,  jalur akan sedikit naik, dan akan kita temui lagi aliran air dan sebuah pancuran dari bambu. Kami kemudian melewati aliran air tersebut, sedikit menapak naik, Pos 1. akan ditemui satu dataran cukup untuk ngecamp 2-3 tenda. Ada papan tripleks bercat merah cukup besar yang terpasang pada bantang pohon dan bertuliskan himbauan untuk menjaga kebersihan.


 



/5/


Setelah pos 1, jalur terus naik dan cukup jelas, namun di beberapa tempat sebelum pos 2, banyak sekali jalur yang on off tertutup rumput setinggi kepala. Orientasi terus keatas dan tidak berpindah punggungan. Sejam kemudian, masih kita temui ladang cengkeh. Beberapa rumpun bambu. Setelah itu, mulai memasuki pintu rimba.



 


/6/


Pos 2 sendiri berupa dataran yang cukup buat ngecamp 2 tenda. Masih ada papan tripleks bercat merah yang berisi tulisan yang sama. Jalur jelas. Tapi sepanjang jalur hingga puncak, penuh dengan pacet. Dan benar-benar tertutup rapat oleh vegetasi. 



 


/7/


Tepat sebelum pos 3 jalur berbelok kekiri, ada satu dataran cukup untuk beristirahat dan cukup 2 tenda untuk ngecamp. Masih banyak pacet, dan nyamuknya cukup ganas. Dari situ jalur naik keatas.


 



/8/


Kira2 satu jam kemudian akan kita temui pos 4 yang tepat berada di tengah pepohonan tinggi dan rapat. Banyak tempat buat ngecamp, walau tanah sedikit miring. Setelah melewati pos 4 dan terus berjalan menuju pos 5, orientasi terus bergerak ke arah kiri. Kemudian menuruni lembah, untuk kemudian naik kembali hingga pos 5. jurang di sisi kanan dan kiri. Hati-hati, karena jalurnya tipis sekali. Tanah mudah runtuh. Beberapa kali kami harus meloncati portal kayu yang licin. Sepanjang jalur keatas, banyak tanda panah menuju puncak dari aluminium yang dipasang pada batang pohon.



 


/9/


Begitu tiba di pos 5. Ada semacam gerbang dari batang kayu yang dipasang beberapa papan nama. Cukup untuk beristirahat sejenak. Jarak ke puncak tidak begitu jauh. Dan mulai terbuka sehingga puncak bisa terlihat dari sini. Mungkin sekitar 10-20 meter naik ke atas.  Melewati portal, sedikit ke arah kanan, ikuti jalur naik keatas. Hingga, tibalah kami di puncak.


 




/10/


Puncak gn. Rajabasa ini tidak terlalu luas. Berupa dataran rumput memanjang, cukup untuk dipasang 3 tenda berurutan. Dengan dua sisi pandangan lepas kearah pantai. Di sisi lainnya rimbun dengan pepohonan, ada satu batu yang di semen dan bertuliskan [tidak jelas], namun di dekatnya ada jalur turun yang cukup curam kebawah menuju danau tektonik gn. Rajabasa.


 



/11/


tentang Danau. Menurut penduduk setempat, sekitar 0.5 – 1 jam perjalanan turun. Konon danau tersebut menjadi tujuan bagi penduduk lokal maupun orang yang khusus datang untuk berziarah. disana ada yang disebut batu cukup, konon, sebanyak apapun orang berdiri diatasnya, akan selalu cukup. Kalau beruntung, orang yg datang dapat menemukan batu kabah. Mengenai ukuran sendiri kurang jelas, ada yang bilang seukuran 1x2 meter. Apakah batu tersebut dapat mengarah ke arah kiblat atau berasal dari Kabah? Wallahualam.

Read more

Pangrango ......Lembah Kasih, lembah Mandalawangi

(reposting catper waktu ke gn. Pangrango,  1-2 Oktober 2005)


 


Cerita ini dimulai sejak awal tahun lalu. Kronologisnya mari sama-sama kita lihat catatan berikut :


 


April 2004


"Pangrango, Ries?"


Tanya Ika. Kami baru saja turun dari Gede. Lagi nangkring di pertigaan Cibodas dan sedang menunggu bis buat lanjut kembali ke Jakarta. Lagi-lagi aku cuma nyengir. Hajar terus!


 


September 2004


Via telpon Ika berkata "Batal!!!!" dan aku pun terjatuh dari kursi " Jalurnya lagi direhab, Ries" tambahnya pula. Dan kami pun beralih ke Plan B.


 


Tahun ini, begitu buku catatan harian Gie beredar, puisinya dibaca dimana-mana, begitu filmnya mulai di putar di bioskop kesayangan masing-masing. Begitu soundtrack film nya beredar di setiap stasiun radio, cd bajakan, dan mendengarnya di setiap perjalananku pulang ngantor. Hmmmm....Akhirnya,


 


September 2005


"Udah didaftarin, mudah-mudahan kali ini kita jadi ke Pangrango, Ries" Ujar Ika lembut. *tumbeeeeeennn feminin. Ika gitu lhoo..*


 


 


Dan inilah kami *setelah mengundang beberapa bintang tamu* bertujuh : saya, Ika, Suwasti, Joe, Kris, Glenn dan Pak Narto bergabung dan berbagi pengalaman dan kisah-kisah seru behind the scene, dan salah satunya adalah ini, dengan bangga saya persembahkan.


 


"Tahaaaaaaannnn!!!!" jerit Suwasti.


Jalannya tersendat dan kemudian terhenti *Freeze mode on* Kakinya membentuk kuda-kuda. Tangannya kanannya terangkat tinggi di udara *dan mengucap motto : sekali di udara tetap di udara* J Dengan kerir 45 liter yang nampak manis di punggungnya ditambah dengan kerudung putih dan t'shirt berwarna orange jeruk yang sangat fashionable. Saat itu, Suwasti nampak kereeeeeeen sekali.


 


Kami bingung dong. Pak Narto yang berjalan didepan, menoleh ke belakang dengan rasa khawatir yang amat sangat tinggi. Ika yang ada di belakang Suwasti, hampir saja menimpanya. Aku menjulurkan leher, melihatnya melewati bahu Ika. Sementara Joe yang ada dibelakangku berbisik-bisik dan bertanya. Glenn dan Kris, masih di belakang sedang memotret apaaa aja yang bisa di potret.


 


Suasana mendadak hening. Air perlahan mengalir, burung pun berhenti berkicau. Matahari tertutup awan. Bahkan angin semilir yang rencananya akan lewat, menunda dulu maksudnya. hingga ......... momen yang dinanti pun tiba :


 


"Duuuuuuuuuuuuuuuutttttt"


 


Gubraaaaaaaks!


Kami yang berjalan beriringan dibelakangnya menyelamatkan diri masing-masing. Ada yang berlindung dibalik pohon, berbalik arah kembali * kalo bisa kembali ke puncak deeeh!* , mencoba berlari sejauh-jauhnya, atau pasrah menahan nafas sepanjang masa dan berharap mimpi buruk itu cepat usai. Ayunan suara yang cukup familiar itu benar-benar mengganggu konsentrasi. Diantara derai tawa dan aktifitas kami masing-masing, Ika balas menjerit :


 


"Ambil jaraaaaaaakkk!" huahahahaha.


 


Sore itu cerah sekali. Kami sedang dalam perjalanan turun kembali menuju Cibodas. Setelah semalam ngecamp di pos Kandang Badak dan bertekad untuk summit attack ke Puncak Pangrango sepagi mungkin J Jalur Cibodas ramai sekali dengan pendaki yang naik maupun turun baik dari gn. Gede maupun gn. Pangrango Umumnya pada bermalam di pos Kandang Badak.


 


Jalur menuju Pangrango relatif bersih, dan bener-bener rapat oleh vegetasi. Senangnya, merasakan kehangatan matahari di sela-sela daun pakis, menghirup semerbak harum pohon dan tanah basah sekaligus mengintip gn. Gede diantara ranting pepohonan. Setelah puncak, kami segera berlari-lari turun menuju lembah Mandalawangi.


 


Walau rencana untuk ngecamp dan bermalam minggu di lembah Mandalawangi hanya tinggal kenangan. *Mungkin lain kali .... Selalu ada next time kan. Betul nggak? * terbayar sudah ketika memandang hamparan bunga edelweiss, dan duduk di lapangan rumput sambil mengamati aliran air jernih yang membelah lembah.


 


I wish, duduk di sebelah Gie dan mendengar suaranya diantara hembusan angin. .......Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mandalawangi.. kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin ..........................


 


Serpong, 10 Oktober 2005


[begitu turun gunung kemarin, ada berita bom bali. Turut berduka; sekalian met shaum buat temen-temen, ibadah nih, ayooooo.. semangaaat!]


 


foto silakan lihat album berikut : into the darkness of mt. Pangrango


theme song ..hihihi.. kesini aja yah : Donna-donna


 

Read more

ketika pos 4 kami lewati begitu saja ...

Catper berikut sebenernya reposting perjalanan kami awal bulan Oktober dua tahun lalu. Sempet dipost di salah satu milis terkenal di ibukota *halah!* J Pendakian ini juga merupakan pendakian perdana kami bertiga (saya, http://ngangeni.multiply.com dan Ika) ke gunung. Slamet.


 


[EPISODE POS 4 YANG TERKENAL ITU]


 


“Jadi nih kesimpulannya Ries, Ika,  jangan ngecamp di pos Samarantu ya? Kalo bisa jalan terus aja”


 


Begitu pesan Joko, sebelum ia dan Ibeth meninggalkan meja tempat kami makan dan share foto pendakian lalu. Saat itu sudah cukup larut malam. Di sudut meja masih tersisa Jenny yang sedang ngobrol dengan Steve *Moderatornya Merbabu.Com*. Sayup-sayup masih kudengar suaranya bercerita tentang pengalaman kemaren ketika ia pergi ke Slamet. Celakanya.. tepat ketika episode pos Samarantu itu, sementara di seberang meja, Steve hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.. *entah setuju atau ngantuk, Steve ?!!! :D*


 


Serempak aku dan Ika bertanya : ”Emang kenapa Kakak Pembina?” bak laiknya seregu Pramuka.


Joko hanya berisyarat, ekspresi wajahnya menggambarkan suatu misteri - yang sungguh mati sulit sekali aku gambarkan dengan kata-kata - dan kemudian berpamitan kepada kami yang masih tertinggal disana.


 


Tapi ….. tekad sudah dibulatkan. Rencana sudah disusun. Logistik baru saja di beli, dan kami sudah terlanjut pamit kanan dan kiri. Tiga hari kemudian, kami berangkat menuju Purwokerto dengan kereta yang bertolak dari Stasiun Senen. Hanya bertiga : aku, Ika dan Tammy.


 


Kami tiba pukul 2 subuh di Stasiun Purwokerto. Sambil minum kopi di Kindy’s Donuts, bergantian kami mandi dan mencari informasi tambahan. Sesekali terdengar lagu “Bunga Anggrek” menjelang kedatangan kereta di stasiun tersebut. (yang pernah ke stat Purwokerto pasti tahu yaaaa?)


 


Jam 4 subuh, setelah jual mahal dan pura-pura hendak naik becak sejauh 5 kilometer ke terminal Purwokerto… (he..he….. ) akhirnya sopir mobil carteran siap mengantarkan kami langsung menuju dusun Bambangan.


 


“kita lewat Baturaden saja ya Mbak!... short cuuuuuut! :D ” deuuuu.. pe de abiiiiiis! J


 


Yeaaah… apa kata driver deh… yang penting sampai dengan selamat, kami sepakat lewat sana. Was-was juga karena ditengah jalan ia berhenti untuk mengambil asisten. Katanya butuh ditemani waktu pulang nanti. Aku dan Ika saling melirik dengan pandangan ngeri, sementara Tammy sudah tertidur dengan nyenyaknya di kursi belakang.


 


Tetap dengan bahasa telepati kami,


 


Aries     ”Gpp Ika, tadi nomor mobilnya udah aku shoot!”


Ika        ” Aku lagi mengingat-ingat rumah tempat dia berhenti tadi, kalo ada apa-apa.. kita bisa lapor polisi dan balik ke rumah ini lagi”


 


Setelah itu aku bingung. Udah deh.. pasang mode pasrah. Ternyata, baru kemudian kami tahu bahwa jalur yang kami lewati ini adalah hutan lebat di daerah Baturaden yang rawan perampok. Lengkap sudah penderitaan kami! Jalan sempit, gelap dan berkelok-kelok sepanjang kurang lebih 8 kilometer itu kami lalui dengan penuh kesunyian.


 


“alhamdulillah!” teriak sang driver penuh rasa lega begitu kami keluar dari hutan belukar dan mencapai peradaban. Idiiih… nggak gitu-gitu amat deh :D Suasana menjadi cair setelah kami lewati jalur tersebut. Kami putuskan untuk berhenti sejenak di mesjid terdekat. Sholat subuh. Sambil memandang siluet Gunung Slamet di kejauhan sana.


 


Jam 6 pagi kami sudah tiba di base camp Bambangan. Di sambut suka cita oleh pak Bahu. Kami beristirahat sejenak di ruang tengah. Bersamaan dengan teman-teman pendaki yang semalam menginap disini. Suasana disana cukup riuh rendah. Rupanya ada pembagian jatah beras untuk penduduk disana.


 


“Asalnya sih bantuan untuk warga yang tidak mampu. Tapi untuk pemerataan dan keadilan. Seluruh warga sepakat untuk dibagi dan mendapat jatah yang sama” jelas Pak Bahu. Ika mengangguk-angguk. Tammy mencari makan. Aku memandang kagum kepada mereka berdua. Bener-bener nggak nyambung!


 


[EPISODE PENDAKIAN ITU]


 


Sarapan. Membungkus bekal untuk makan siang. Belanja souvenir dulu. Ngobrol sejenak dengan Ibu Bahu. Bergossip mengenai proyek sumur bor di Bambangan yang tak kunjung selesai. Minum kopi (lagi!) dan packing ulang. Beberapa barang untuk nanti pulang berikut belanjaan, kami titipkan kepada Ibu Bahu.


 


Jam 8 pagi. Perjalanan baru kami mulai. Sebelum berangkat kami diberi wejangan oleh Pak Bahu, (bakal parno, nih orang bakal kasih petuah…apa yang boleh dilakukan apa yang tidak boleh dilakukan… semacam itulaaahh) suasana mencekam sekali, hening sesaat hingga akhirnya dia berkata :


 


“ dari sini terus saja. Setelah ketemu gerbang, belok ke kanan ya? Ikuti saja jalurnya. Cuma ada satu jalur sampai puncak”


 


Ternyata jalurnya panjang sekali ya… dan terus menanjak. Melewati ladang. Saling susul menyusul dengan 4 orang teman kami yang (ternyata) dari Jakarta juga. Aku dan Tammy sibuk memilih-milih sayur dan daun bawang yang sekiranya cocok untuk teman makan malam kami nanti.


 


Setelah melewati ladang, kami mulai memasuki vegetasi hutan. Cukup jauh juga jarak antara pos 1 dan pos 2. Sebelum mencapai pos 2, kami istirahat sejenak untuk makan siang dan shalat. Setelah itu jarak antar pos tidak terlalu jauh. Rencana kami hari itu adalah mencapai pos 5 dan ngecamp disana. Yang menarik disini adalah banyak sekali pos bayangan. Kalau tidak menemukan papan nama pos, bisa dikira pos beneran! dan setiap menemukan tempat seperti ini, Ika dan Tammy berebut menebak-nebak nama pos tersebut. Kalau tidak ada papannya mereka hanya berkata :


 


“Ini namanya pos : ‘MAAF! ANDA KURANG BERUNTUNG’ ..hua…hua..hua” bayangin aja…


 


Jam setengah enam sore, baru kami tiba di pos 5. Ada 2 rombongan pendaki yang sudah tiba terlebih dahulu disana. Yang pertama ngecamp di Pondok pos 5, sedang yang lainnya di tanah datar di depan pos 5. Tempat kami sendiri agak dibawah mereka dan cukup terlindung pepohonan. Segera memasang tenda. Tidak ada air disini. Sumber air kering.


 


(“Jokooooooo!!!!... nggak ada air kok!”)


 


(situasi pada waktu makan malam)


 


Aries     : “Tammy…. Walau di gunung, kita harus selalu tampil elegan dan menawan“


 


Mata Tammy membulat. Masih belum mengerti. Begitu Ika keluarkan tissue basah. Dan mulai mandi tissue, barulah ia tahu. Malam itu juga, Tammy membuat suatu pengakuan. Sambil mengeluarkan alat bantu pernapasan (sorry Tam… lupa namanya…) dan mempraktekkannya berikut suara


 


“srooooootttttt” yang cukup menakutkan itu. Giliran aku dan Ika yang membulat matanya memandang Tammy hingga yang diamati tergugah untuk memberikan penjelasan.


 


Tammy             : “Begini Mbak Aries, Mbak Ika…… saya punya penyakit asma!”


 


Gedubraaaaaakkk!!!!! …. Meja kursi berjatuhan..(ini kalau ada di kantor ya?) Hening sesaat. Penuh berkecamuk dengan pikirannya masing-masing. Malam itu kami berdua mendapat pencerahan dari Tammy, mengenai apa asma dan teman-temannya. Apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Setelah makan malam yang luar biasa lezatnya (masih inget sayur-sayuran yang tadi kami minta selama perjalanan?) kami bersiap untuk perjalanan esok hari. Ika, time keeper, mengingatkan untuk menyetel alarm pukul 2 subuh dan kami masing-masing menyiapkan daypack untuk esok hari.


 


 


 


 


[EPISODE : SUMMIT ATTACK)


 


Alarm HP dengan ringtone lagu “bangun tidur” (he..he…) sudah berbunyi. Maleeeeeessss banget rasanya, masih penat! Walau begitu penuh semangat, aku langsung loncat dan bergegas ke pintu tenda, keluar, memakai sandal…. dan …. ritual dulu laaaaahh…. Sementara Ika sudah menyiapkan Trangia. Memasak air. Kami minum kopi dan makan roti plus keju.


 


Jam setengah empat subuh, berbekal senter dan daypack isi kamera, logistik, air dan obat-obatan. Kami bertiga mulai melanjutkan perjalanan menuju puncak. Tenda kami tinggalkan. Doa kami panjatkan. Semoga tidak ada yang iseng untuk membongkar tenda kami.


 


(catatan : waktu naik kemarin dan bertemu penduduk, kami diperingatkan untuk berhati-hati bila meninggalkan barang di tenda, beberapa waktu yang lalu…… ia mulai berkisah.. matanya menerawang jauh…waahh… bakal long story nih… pikirku dalam hati) ….


 


Ada pendaki yang kehilangan barang-barangnya. Sampe ke keril-nya pun raib lenyap.”


 


(polos kami pun bertanya) : “siapa pencurinya Pak?”


 


(still yakin ia pun menjawab) : “itu… pendaki juga. Tapi dia pake jalur laen. Kalo dari Bambangan tidak ada yang seperti itu” (dengan nada bangga) “Makanya, kalo ngecamp di pos pelawangan saja (catatan : pos 9) kan open area tuh! Kalo kalian ndaki dan ada yang ngambil barang, bisa ketahuan kan?”


 


Kami mengangguk-angguk tanda mengerti. Baru kemudian aku sadar. Kalau pun bisa lihat ada yang ngambil. Tetap aja susah dikejar. Wong kita lagi ndaki je’. Apa nggak frustasi nantinya nggak bisa ngejar tuh maling….


 


Balik lagi ke pukul setengah empat subuh. Kami berjalan relatif lebih cepat (iyaalaaahhh… kagak pake keril!). namun jalur penuh debu. Terengah-engah dengan oksigen yang semakin menipis. Tapi langit ceraaaaahhhhhh sekali. Beberapa kali kami melihat bintang jatuh. (dan gedubrakan Ika selalu hampir jatuh, gara-gara terus melihat ke langit) Masing-masing menyebutkan keinginannya, mulai dari kamera digital hingga tenda TNF terbaru… hua..hua…haa….


 


Pos 6 kami lewati. Langit mulai penuh dengan semburat merah. Waahh… Sebentar lagi terang nih. Sudah pukul lima. Setelah berembug. Kami bertiga memutuskan untuk berhenti untuk shalat subuh dan menunggu sunrise (dimanapun kami berhenti).


 


Tempatnya unik sekali. Syahdu sekali. Ada tempat datar cukup untuk shalat. Beberapa pohon yang meranggas dan ilalang di sekitarnya. Kami duduk terdiam (dengan kamera di tangan masing-masing) sudah siap menyambit eh.. menyambut sang mentari. Ketika ia muncul….. cuma satu kata …. “LUAR BIASA!” mataharinya muncul tepat ditengah-tengah gunung Sindoro Sumbing. (Inget waktu kecil, kalo gambar pemandangan pasti ada dua gunung dan di tengah-tengahnya ada matahari yang muncul)


 


Tammy segera mengeluarkan segenap gaya. Ika bergerak secara acak mencari posisi yang tepat untuk memotret. Hingga tak terasa. Sinar matahari yang keemasan mulai mewarnai pepohonan di sekitar kami. Perjalanan pun kami lanjutkan. Tidak jauh dari sana ternyata sudah pos 7. Lima belas menit kemudian kami tiba pula di pos 8. Dan tak berapa lama sampai di pos 9 (Pelawangan). Disana kami jumpai 3 orang pendaki yang ngecamp di pos pelawangan. Hanya ada satu tempat untuk ngecamp. Terlindung sedikit pohon dan semak.


 


Bersama-sama dengan mereka, kami mulai menapaki jalur yang …hmmmmmm …… (jadi inget pandangan Ibeth waktu cerita mengenai jalur naik menuju puncak) …. Pasir, kerikil tajam dan batu-batu segede gaban. Banyak sekali jalur menuju puncak. Bikin jalur sendiri juga bisa. Wong tujuannya jelas kok. KE ATAS!! He..he….. Ika sudah melesat jauh di depan. Ada batas patok-patok kayu di sebelah kiri kami. Kami bertiga memilih jalurnya masing-masing.


Hingga kemudian muncul istilah : jalur tetangga memang lebih hijau dari jalur sendiri. Gimana nggak ngiler, ngeliat Tammy kok enak banget ya naeknya. Lihat Ika apalagi. Barangkali kalau dipeta-kan dari atas, jalur yang aku ambil zig-zag kali yaaa? ….


 


Jam 7.30 (kayaknya)…. Sampai juga di atas. Ika sudah dari tadi nongkrong di titik triangulasi. Sambil menunggu Tammy, aku istirahat sebentar. Merenungi nasib. Ide gila dari mana ya, hari ini bisa nangkring disini?


 


Kami bertiga makan pagi, reportase singkat via handycam, foto-foto lagi dan berjalan-jalan mengitari kawah. Ika yang super amat sangat penasaran malah melaju lebih jauh meninggalkan aku dan Tammy yang sedang berjemur dan bersantai di tepi kawah.


 


Hingga jam 10.30 kami disana (nanti kalian semua akan tahu apa efek samping dari nongkrong selama 3 jam di puncak Slamet, baca di akhir catper ini yaaa?) barulah kami turun.


 


Dalam perjalanan turun, kami berpapasan dengan rombongan 10 orang dari Lab School… (siswa en guru pendamping) dan 3 orang temen seperjalanan yang dari Jakarta kemaren. - satu orang sisanya jaga tenda - sementara yang tadi bareng naik, sudah dari tadi turun.


 


Perjalanan turun cepat sekali rasanya. Setelah makan siang dan packing (kebetulan kantuk mulai menyerang) kami putuskan untuk istirahat sejenak, mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan kembali.


 


Ika : “ Air masih ada kan Ries, makanan juga?” tanyanya sambil mengepak barang.


 


Aries : “Masih. Cukup kok kalo kita ngecamp semalem lagi”


 


Tammy : “emang kita ngecamp lagi ya?” dengan tampang cemas.


 


Ika : “ Iya. Kalo kemaleman di jalan. Kita ngecamp di pos berapa aja. Kan banyak tempat tuh”


 


Aries (sambil nyengir) : “ kalo pas di Pos 4?!!!”


 


Wajah Tammy memucat. : “#??@??*%%!!”


 


Ika (cengirannya bertambah lebar): “ kalo sampai di pos 4 pun kalian pasti bakal terus jalan ! .. he.. he …. ”


 


 


Guruh mulai terdengar di kejauhan. Aku dan Tammy berpandangan. Tapi tidak berani untuk menyebutkan gejala apakah itu. Kami diam-diam masuk kedalam tenda, dan tidur.


 


 


(gimana nih? Ngecamp lagi di pos 5... atau turun teruuusss?)


 


[EPISODE : AKHIRNYAAAA EN SPECIAL THANKS!)


 


Jam 4 sore kami sudah bangun dan bersiap. Ternyata cuaca cerah sekali. Tenda dibongkar dan setengah jam kemudian kami sudah turun meninggalkan pos 5. Hanya lima belas menit kami sudah tiba di pos 4. Lanjut! Lima belas menit kemudian sampai di pos 3. Magrib kami tiba di pos 2. Sayup-sayup terdengar suara azan dari bawah sana. Dalam gelap kami shalat magrib dan istirahat sejenak. Perjalanan dari pos 2 hingga ke dusun Bambangan cukup lama. Beberapa kali berpapasan dengan beberapa rombongan yang mau jalan malem. Jam 8 malam kami tiba di base camp Pak Bahu. Mencarter kendaraan langsung ke Stasiun Purwokerto dan langsung kembali ke Jakarta dengan kereta pukul 02.20 dinihari. Syukur deh…perjalanan kami lancar tidak kekurangan suatu apa.


 


 


Tokoh-tokoh ‘UNIK’ yang kami temui sepanjang perjalanan :


·          Temen-temen, empat orang yang (ternyata) dari Jakarta juga. Selama perjalanan menuju pos 5 selalu susul menyusul. Selalu punya pikiran yang sama untuk cari tempat buat istirahat. Situasi yang (selalu ) terjadi bila kami bertemu di salah satu pos: mereka selalu sedang tidur sedangkan kami sedang sibuk mengunyah makanan.


 


·          Bapak Guru Lab School (yang ketemu dalam perjalanan kami turun dari puncak) Dengan tangan gemetar - tanpa sarung tangan - mencengkam kerikil tajam dan batu-batu.


“Ini baru pertama kalinya saya naik gunung, paling tinggi cuma ndaki bukit, BUKAN GUNUNGG!!! Hiks…. “ sambil mengusap keringat “ dan saya phobia ketinggian” dan selama beberapa menit kemudian kami mendengar curhatnya dengan tampang maklum.


 


·          Siswa-siswi labschool “ dalam rangka apa mbak Naek ke Slamet?”


Tammy : “ Oh… kami cuma refreshing saja kok…”


Siswa-siswi labschool :“ kalo refreshing sih ke Mal aja Mbak!” Tammy (Cuma bisa nyengir)


 


·          Amin (penduduk Bambangan, baru selesai memetik tanaman untuk dibuat jamu dan ternyata masih ada hubungan saudara dengan Pak Bahu) yang turun bareng mulai dari pos 2 dalam perjalanan pulang. Dengan obrolan ringannya seputar status masing-masing.


 


“mbak Ika sudah punya pacar?” (gubraaaaakkkk!!! … catatan : ybs kemaleman di jalan dan nggak bawa senter)


 


“Oh… Banyaaaakk!” jawab Ika santai sambil membantu mas Amin berdiri.


 


 


SPECIAL THANKS :


atas email-email yang wara-wiri sebelum perjalanan


 


·          Haris Respati : Trus ke Slamet-nya serius nih? Bener2 dah yakin? J hehe becanda.. terus terang Slamet tuh rada2 mistis lho.. tapi aku gak mo ceritain cos ntar malah gak jadi brangkat haha..


 


·          Ibeth : Ceweks, udah siapkan? Met jalan dan hati-hati yach....Titip salam buat kawahnya....


 


atas telpon-telponnya..


 


·          Suwati (dan Rifi, sebagai backsound) pas Magrib-magrib hari kemis…nelpon ngucapin say goodbye : “asal jangan di puter-puter di pos 5 aja ya? Hua..hua…hua…..” huh! Sialan! J


 


·          Joko yang bolak balik telpon dan berpesan : “Nanti di kereta ….. berlagak kayak orang susah aja. Kamera nggak usah dikeluarin dulu” (catatan : pengalaman pribadi. Waktu ke Slamet kemarin, kameranya raib lenyap tak berbekas)


 


·          Hendri , dalam perjalanan kami di kereta: “ Kalo bisa nanti langsung aja ke pos 8!..... biar lebih deket kalo mau muncak!”


 


Juga thanks atas sms-sms yang masuk :


 


·          Joe : kayanya sy tidak jadi ke selmt(sori yah,g bs nemenin)ternyata saya teh maseh ada kesibukan….. Gw doain teman”sukses dalam pendakiannya dan bs kembali kejakarta dengan slamat” slalu hati2x yah,salam to dinginnya puncak slamet..


 


·          Jenny Irma : Udah bgn Ries? Selamet ya, udah merambah pck tertggi di Jateng. semua lancar kan..


 


 


Juga buat orang dirumah dan temen-temen dikantor :


 


“Ries? Muka loe Gosong lagi ?!!! “ dan sempat dapat panggilan kesayangan … si muka terbakar! Hi..hi…


 


Dan terakhir buat :


Ika dan Tammy, temen-temen seperjalanan…. Kalian temen jalan yang asyik, nggak bikin Be Te… dan nggak nyusahin… team work yang OKE! Kapan jalan bareng lagi?


 


 


 

Read more
 

hujan, jalak dan daun jambu Design by Insight © 2009