Saya menyesal tidak membawa string line. Membawa bendera kecil. Atau pita scotchlite yang bisa saya ganjal dengan batu. Atau apapun yang bisa membantu kami turun.
Tidak heran banyak orang yang nyasar atau jatuh justru ketika mereka turun.
Walau sebenarnya hanya sebentuk gumaman. Lebih tepat ditujukan untuk diri saya sendiri. Ingin rasanya mengambil alih dan berjalan di depan. Sungguh tidak sabar berjalan dalam pelan seperti ini.
Tapi saya tahu, kami tidak boleh panik. –tepatnya…. Saya tidak boleh panik hehehe..-
Namun, disini saya belajar untuk percaya penuh pada leader. Kalau yakin benar tak ada salahnya dicoba.
Memang agak sulit dalam keadaan seperti ini. Pagi tadi kami masih dapat berorientasi. Mulai naik dari pos 3 tadi, hingga Tugu yudha dan kemudian puncak.
Yang kami lakukan adalah merayap naik gigiran punggungan gunung yang tipis, yang lebarnya tak lebih dari dua meter. Karena di kanan kirinya sudah dinding miring menganga.
Tidak berupa satu garis lurus punggungan karena di ujungnya kami akan berpindah ke punggungan lain.
Kadang mengarah ke utara. Kemudian pindah sedikit ke timur lalu kembali lagi ke utara. Demikian seterusnya, hingga mencapai puncak.
Di beberapa persimpangan punggungan, memang ada tugu batu penanda.
–saya jadi ingat tugu yang sama di lautan pasir bromo, seperti ini lah kira-kira bentuknya-
Tapi jarak satu sama lain sangatlah jauh. Bagaimana mungkin kami bisa melihatnya dalam kabut tebal seperti ini?
Target kami sekarang adalah Tugu Yudha. Kenapa? Karena Cecep meninggalkan keril+kompor disana. (walah? Kok ditinggal?)
Kami turun perlahan. Yang tidak begitu pede dengan sepatunya, memilih masuk ke dalam jalur air dan berjalan disana.
Langkah kami kerap tersendat karena Cecep berulang kali berhenti untuk memastikan jalurnya.
Sementara itu guruh terdengar bersahutan. OMG…… please deh… jangan hujan dulu.
Tapi oh.. apa itu? Hanya beberapa detik, kabut tersibak dari pandangan kami.
Sekarang saya bisa melihat Cecep dengan jelas. Juga batu-batu bersusun nama yang dibuat pendaki sebelumnya. Nun di bawah sana.
–betul kan? Itulah sebabnya kenapa tadi di awal sempat saya tulis bahwa saya bersyukur karena sempat memperhatikan batu-batu itu dari pos tugu Yudha-
Jelas sudah. Kami sedikit melambung ke kanan. Jadi.. pelan-pelan kami pindah punggungan. Ke arah kiri. Ke arah timur. Menuju tugu Yudha.
Namun kabut kembali menutup pandangan. Bahkan lebih parah. Kini kami sama sekali tak dapat melihat dengan jelas.
Jarak pandang hanya sekitar 2 meter ke depan. Hujan gerimis. Dan guruh terus bersahutan.
Lalu kami mendengar suara yang tak mungkin kami lupakan.
Semula, saya kira saya mendengar suara hujan. Suara hujan yang amat deras. Samar-samar terdengar.
Uh.. pasti sebentar lagi hujannya tiba disini deh. –memandang sedih tas kamera yang jebol ritsluitingnya-. Tapi kenapa tak datang juga?
Lalu keenam pasang mata ini melihat pemandangan yang menakjubkan di punggungan sisi timur kami.
Air tercurah dari beberapa jalur air. Mendengungkan suara gemuruh seperti air terjun kecil. Berkejaran satu sama lain.
–mudah-mudahan hanya terjadi di jalur tetangga saja ya. Dan bukan di jalur air yang sedang kami lewati ini-
Dalam rintik hujan, kami duduk diam di jalur. Cecep sudah tak tahu harus kemana.
Sudah pukul dua siang. Pada titik kelelahan yang amat sangat seperti ini. –dan pada titik amat sangat lapar seperti ini- saya berharap bisa menghubungi shelter 2. Menghubungi Joko dan Pak John.
Minta dijempuuuuuut..!! huhuhuhuhu…!!!! -manja mode on-
Yah.. bagaimanapun, saya hanyalah manusia biasa J -tersipu-sipu-
Lalu pada saat yang genting seperti itu. Tanpa banyak bicara, Wangsa maju menggantikan Cecep. Walau perlahan, nampaknya ia yakin sekali dengan jalur yang dipilihnya. Saya heran, bagaimana bisa Wangsa seyakin itu.
Lalu baru saya sadari. Ada cat kuning di atas batu. Berbentuk tanda panah. Ah ya.. tadi waktu naik juga sempat saya lihat. Jadi ini yang dilihat Wangsa. Hati saya mulai lega. Kami sudah di jalur yang benar.
SHELTER 2.
Jam 17.02 wib
Shelter 2 sore ini meriah sekali. Hujan sudah berhenti. Kami semua sudah tiba sejak satu jam lalu.
Di sekitar tenda kami, sudah berdiri tenda-tenda pendaki lain yang baru datang. Suara-suara ramai mengobrol.
Sementara para lelaki itu berkumpul di tenda-nya Pak John.
Di tenda saya saat ini, ada Emma dan Lia. Kami bertiga sudah ganti pakaian. Sudah memakai jaket tebal. Sudah kenyang makan sayur asem dan tempe goreng buatan Joko.
Berlatar lagu-lagu alay dari playlist saya. –sengaja bawa mini speaker dari Jakarta- Kami ngobrol ringan kesana-kemari dan tertawa bahagia –tidak jelas juga apa sebabnya J-, lalu kami menghirup teh manis dan mencicipi dodol kentang pemberian tetangga sebelah.
Ah.. syahdunya…
saat-saat seperti ini, pasti akan selalu saya rindukan.
-selesai-
(BTR, 21 mei 2011, 18.35 wib. Mpus2 sudah makan malam dan kemudian keluar pergi untuk main. Hanya si Malih yang tidur di dekat sepeda, menemani)
“Takut ketinggian?”
Ihiks!
Lia mengangguk sedih.
What should I do? Nggak ada di buku-buku panduan. J
Hanya naluri saya mengatakan bahwa kami harus berhenti sejenak.
Senyap.
“Mbak…?”
“apa?”
“aku mau muntah”
“kwaks!”
“Ya muntahkan saja.”
Mountain sickness nih. Ya.. muntahkan saja Lia. Jawab saya lagi, sambil memegang sepotong coklat dalam saku jaket.
Setelah muntah, perutnya harus diisi lagi, ini rencana saya.
Sayang saya nggak bawa termos air panas seperti biasanya –saya lupa- kalau bawa, pasti sangat membantu deh.
Mata saya berkeliling. Wajar bila Lia takut sedemikian rupa. Ini pendakian perdana-nya. Langsung ke 3805 meter pula.
Kami berdua begitu sendirian ditengah kemiringan lautan batu dan pasir.
Tahu tangga bambu? Coba bayangkan deh kalau tangga itu sedang bersandar di tembok, untuk naik tentu harus dipanjat kan? Begitulah kira-kira ilustrasinya.
Nah, tadi kami merayap naik.
Kembali diam. Nampaknya Lia tidak jadi memuntahkan isi perutnya.
Nampaknya juga, ia sedang mengumpulkan keberaniannya.
Saya sengaja tidak memberikan komentar.
Saya biarkan dia berdamai dengan rasa takutnya. Ini ‘pertempuran’yang harus dihadapinya sendiri.
Saya H2C –harap-harap cemas- jangan-jangan.. dia minta turun L
“yuk!”
“hah?”
“ayo.. kita lanjut, mbak!”
Horeeeeee…!!!!! Sorak saya dalam hati –sayang kostum cheerleader saya ketinggalan di pos 2 J -
WAKTU ITU PUKUL DELAPAN LEWAT 17 MENIT
Sementara itu pada saat yang bersamaan, pak John telah menyentuh gigir kawah. Dia sudah tiba di puncak gunung.
Alamak.. cepat sangaaaat !!!!
Bahkan kami yang masih tersaruk-saruk di belakang, baru tiba di pos tugu Yudha –ini adalah nama pos sebelum ke puncak- sejam kemudian.
And you know what? Pak John sudah turun dari puncak dan menunggu kami disana.
Tepat rasanya disebut Pos tugu Yudha.
Ada sebuah memoriam -Adi Permana, pendaki dari Jakarta yang wafat di gunung ini- Tepat di sebuah dataran yang luas.
Terasa begitu agung ketika berdiri disini. Sambil memandang puncak yang kabutnya datang dan pergi silih berganti.
Nun di dataran sisi barat sana, nampak batu-batu kecil bersusun membentuk nama. Ini pasti ulah pendaki.
–yang beberapa jam kemudian akan saya syukuri karena pernah melihat sebelumnya-
Tak jauh dari memoriam, Cecep dan Ivana merebus air. Saya diberi segelas kopi jahe –atau teh jahe ya? Sori, lupa-
Uh.. hangaat!
Sementara itu Lia merebahkan tubuhnya disamping Emma.
Dan Wangsa .. ahay.. dia sudah mulai naik menuju Puncak.
Kami istirahat sejenak.
“Saya turun dulu ya, Ries!” pamit Pak John.
“Kasihan Joko nggak ada temennya.”
Ihiks!
Saya tahu. Pak John memang tipe solo trekker –disamping tipe atlet itu tentunya, masih inget kan?-.
Saya percaya Pak John mampu turun sendiri.
Tapi …… kita kan satu team, Pak John. L
Terlaluuuu.. *Rhoma Irama style*
Harapan saya sih, naik bareng …….turun juga bareng dong ya. Gimana kalau terjadi sesuatu di jalan?
Kami kan bukan wanita perkasa -tanpa bermaksud mengecilkan peran cecep dan wangsa lho ya- J wkwkwkwk….
Tapi ah.. sudahlah.
Saya lebih suka melihat awan yang beriring di depan mata. Keren sekali!
Setengah jam kemudian, kami naik menyusul Wangsa. Satu persatu merayap naik.
Ivana, Cecep, Emma, Lia dan terakhir barulah saya menyusul.
Mungkin karena melihat kami tersendat-sendat di belakang. Cecep akhirnya mengambil posisi di belakang menemani Lia.
Rasanya waktu lama sekali. Kami terus merayap. Sesekali terendus bau belerang dari kawah. Menyengat. Mungkin terbawa angin.
Sementara itu langit berwarna biru dan matahari bersinar dengan hangatnya.
MENCAPAI PUNCAK
10.08 wib
Ah… inilah saat yang selalu saya rindukan. Saat-saat yang sekaligus membuat hati saya gentar -dan kaki gemetar tentunya J-
saat-saat dimana saya ingin menangis dan tertawa pada saat yang bersamaan –bingung kan?-
Kali ini saya tak tahu kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Hmmm… sepertinya kalian harus merasakan sendiri kali yaaaa…
Tak ingin kehilangan momen, saya keluarkan kamera dan merekam lukisan kawah gunung itu.
–yang kemudian akan disesali Emma karena luput mengabadikannya. Karena beberapa menit sesudahnya, kawah tertutup kabut. Selamanya-
Di gigiran kawah sebelah barat nampak Wangsa, Emma dan Ivana.
Sepertinya ada tugu triangulasi disana.
Saya berjalan meniti tepian kawah mendekati mereka. Ketika saya tiba, kami saling bersalaman dan berpelukan ala teletubbies.
Akhirnya …. Kami sampai juga ya. Syukurlah…!
Beberapa menit kemudian Lia datang sembari dituntun Cecep.
Wajahnya pucat pasi. Tak sanggup berdiri, ia rebah di dekat kami. Masih takut akan ketinggian rupanya.
Tadi ketika tiba di gigir kawah, tanpa sengaja matanya tertumbuk pada air kawah hijau yang asapnya mengepul dan letaknya yang super dalam itu.
Oh.. betapa menakutkan.
Tapi itu hanya sebentar ya Lia? ;)
Karena tak lama kemudian, dia sudah ramai berkicau mengimbangi kami
–ibubil ..ibu-ibu labil ini- yang tak henti-hentinya berpose di sekitar tugu triangulasi.
Mumpung sudah sampai disini, harus ditambah dokumentasinya dooooong…hahaha..
KABUT !!!!
11.15 wib
Kami lengah. Berlama-lama di puncak dan mengira kabut sebentar lagi akan tersibak. L
Ya .. kami benar-benar lengah. Saya lupa siapa yang mengajak, tapi akhirnya kami turun.
Dipimpin Cecep kami mengikuti dari belakang. Ivana, Saya, Emma, Lia dan terakhir Wangsa.
Ya Tuhan... kabutnya tebal sekali. Padahal Ivana hanya beberapa langkah di depan. Cecep malah lepas dari pandangan.
Lalu saya menoleh ke belakang. Emma dan Lia rapat tak jauh dari saya.
Tapi Wangsa yang ada di belakang mereka.. hanya sebentuk figur yang redup oleh kabut.
Menyeramkan sekali.
“ke kiri Ceeeep! .. ke kiriiiiiii!” teriak Lia.
“Rasanya tadi kita nggak turun disini deh!” Emma menambahkan.
Hmm…
whaduh.. gimana dong ya? mau tahu sambungannya? besok lagi yaaa... mau makan siyang duluuuu...
*BTR, 23 mei 2011, 14.27 wib. sedang kipas2 kepanasan*