pangrango edisi mengantar susan

Read more

pangrango edisi mengantar susan




Sudah empat kali Susan gagal mencapai puncak Pangrango. Ada-ada saja penyebabnya. Seringnya sih, nyangkut di pos Kandang Badak, lain waktu malah berubah haluan ke gunung Gede.

Tak sesuai rencana. Karena sudah gelap dan kelelahan, kami urung ke Puncak Pangrango. Besok aja deh summit attack-nya. Jadi kami membuka tenda di Kandang Badak. 
"Tapi bangunin ya Mbak!" karena dia nggak bawa alarm. Grrrrrrh... udah dianterin, minta dibangunin pula.

lalu, jam empat subuh : Saya, Suwasti dan Susan baru berangkat. Emma sih lebih suka untuk meneruskan tidur dan menjaga tenda. "Oke Mak..! tapi titip jemuran ya?" pinta kami ketika pamit mau pergi.

Kabut tebal menemani kami pagi itu. Akibat hujan semalam, jalur banyak yang berubah menjadi aliran air. Batang kayu disana-sini. kadang kami lompati. Tapi lebih sering merangkak dibawahnya. 

Walau satu jam terakhir Susan sempet manyun karena tanjakannya nggak selesai-selesai juga. Tapi hati ini terharu melihatnya ketika tiga jam kemudian kami tiba di titik triangulasi Pangrango. Susan bahkan sujud syukur saking bahagianya.

Nah.. Susan... udah kesampean ya .. ke Pangrango. Tuntas juga akhirnya tugas kami -nini2 ceria ini. Walau sebelum berangkat masih batuk-batuk dan sesak napas- mengantarmu mengunjungi Pangrango. Apalagi ditambah bonus piknik di lembah Mandalawangi. Alaaaaamaaaaak !!!!! Cantiknyaaa.....

dijepret dengan kodak 320 plus adobe photoshop CS n lightroom 3; Ngetrip hujan-hujan di sabtu minggu, 27-28 Nopember 2010 bersama saudara-saudara saya tercinta : Suwasti, Emma dan Susan
Read more

menuju +2249




Ah.. jauh sekali ‘rumah’mu .. 


trip to Guntur +2249mdpl, Garut, Jawa Barat 19-20 June 2010 along with my lovely sista’ : uta, Ivana and Fita.
Read more

1236 KM




agak sulit juga memilih beberapa dari 'ratusan' rekaman gambar yang saya jepret sepanjang perjalanan saya membonceng suami bersama klub motornya. Total ada sekitar 44 motor yang berangkat menuju kota Palembang via lintas timur. Saya baru tahu kalau jalannya kayak congklak hahaha... soalnya lubangnya merata di sepanjang jalan, bro!

Catpernya menyusul ya. Normalnya Jakarta-Palembang via motor sekitar 10-12 jam, tapi entah mengapa waktu itu kami tempuh dalam waktu 29 jam. rekor deh.. pegel-pegel dan ngantuk sudah pasti. tapi terobati juga sih waktu foto-foto (tepat) di bawah jembatan ampera. oiya... catpernya ada disini ADA BOX TERBANG

BTR, 8 Juni 2010; 19.26 (lagi nunggu yayangnya pulang kantor)
Read more

jangan panggil aku wanita perkasa lagi!

Read more

reuni @ kandang badak




Dan salah satu hal yang membuat saya bahagia ketika jalan-jalan adalah ketemu lagi dengan temen-temen lama. Masih lanjutan kisah akhir bulan lalu Semua foto dijepret dengan kameranya Emma. Permios ya Maaaak.. :D minjem futuna. Ada jenny, Nita, Joan, Emma, dwi dan Ucup Sayang jeng Suwaztih batal ngikut, padahal bisa reuni-an dan foto-foto ala fesbuk nih.

10 mei 2010, 14.11 BTR yang mendung.. hmm.. tumben
Read more

pangrango, I love u but it’s not so easy*




Ini kisah minggu lalu, Saya, Dwi, Jenny, Vidya, Ida, Dori, Dodo, Opik, Agus- jum’at malam 23 April 2010 pk. 23.00 terminal kampung rambutan; 24 April 2010 Sabtu dinihari 03.00 basecamp @ Cibodas; 07.30 start trekking jalur Cibodas; 12.30 @ pos air panas, makan siang; 15.00 ngecamp @ kandang badak; 25 april 2010 minggu dinihari 04.00 summit attack; 07.00 tiba di triangulasi Pangrango 07.15 tiba di lembah mandalawangi, sun bathing, ngobrol, foto2, ngemil; 09.00 naik lagi ke puncak untuk kemudian turun; 10.30 @ kandang badak lagi, makan siang dan persiapan turun; 13.30 turun menuju Cibodas; 17.00 @ pos lapor Cibodas, mandi, makan malam; 19.30 @bus menuju Jakarta; 22.00 terminal kampung rambutan.  Bus jkt-Bandung (turun Cibodas) Rp 15,000, carter angkot dari prapatan menuju Cibodas Rp 50,000 (isi 8 orang+8 kerir), Sarapan+bungkus nasi makan siang+malam (Rp. 170,000) shared by 9 orang.

Ketika itu sepanjang jalur naik dan turun nggak seramai biasanya, mungkin karena musim pendakian baru dibuka. Sepanjang jalur dan pos yang kami lewati, bersih nyaris tanpa sampah. Hmmm…mudah-mudahan akan selalu begitu. Tapi dari semua itu yang paling menyenangkan buat saya adalah disana ketemu teman-teman lama yang kebetulan ngecamp bareng di Kandang Badak. Ah.. jadi reunian deh.. Dan ini sebagian rekamannya. Thanks ya… Mudah-mudahan besok bisa jalan bareng lagi.…

Kisah yang lalu juga ada
disini dan disini Siapa tahu ada yang pengen lihat juga.. ;) *yang sepenggal liriknya saya kutip untuk judul album ini, dan yang isinya memenuhi benak saya sepanjang jalan. when you love someone

Read more

catper trip lawu via ceto episode : RINDU INGIN KEMBALI LAGI

previous story : segelas kopi di pos 4

Jam 8   malam, di  Café Mbok Yem, pos HARGO DALEM (3.167 mdpl)

Mbok Yem memang luar biasa, warungnya buka 24 jam sehari, 365 hari setahun. Tak sekalipun pernah absen. Warung kecil di ketinggian 3000 meter ini, ia lebarkan ke selatan.

Bedeng memanjang beralas tikar ia berikan bagi pendaki dan peziarah yang kemalaman, tak punya tenda dan kelapara
n tentunya. 

Melalui Suw
asti, Kris bilang akan menghabiskan logistiknya dan membangun tenda tak jauh dari café Mbok Yem.

Maka inilah kami : saya, Suwasti, Joan dan Emma. Memakai jaket hangat dan kupluk. Di bawah terang lampu neon, dengung suara genset, lengkingan Mbok Yem menyambut pendaki yang baru datang atau dengkuran pendaki yang tidur saking lelahnya.

Kami duduk melingkar saling merapatkan bahu. Di lantai beralas tikar, menghadap wadah plastik berisi kopi dan teh. 

Kami ngobrol dan tertawa penuh arti. Mengingat petualangan hari itu. Akhirnya kami sampai juga. Dan rasanya sudah rindu ingin kembali lagi. Tidak hanya menyapa pucuk-pucuk daun cemara dan rumput liarnya. Tapi juga atas kehangatan dan persaudaraan yang kami rasakan selama ini.

Lalu sambil menunggu pesanan nasi pecel kami tiba. Saya kembali teringat kejadian sore itu di pos 5.


Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)

Sambil menoleh kebelakang, jauh diujung sana, saya lihat dua orang berjalan beriringan. 

“Oh.. itu mereka.” Ucap saya lega. 


Sambil memberi tanda pada Emma dan Joan untuk terus maju. Kami perlahan bergerak kembali. Setelah pos 5 ini, ada dua bukit kecil di kiri kami.

Dan begitu keluar dari tempat ini.. ah.. kami bertemu lagi dengan padang sabana yang jauh lebih luas dari padang sebelumnya.


Lalu jalan setapaknya mulai membelok ke tenggara.  Dan jauh di ufuk selatan, samar-samar kami lihat puncak bukit dan sebuah tower diatasnya.

“Hah? Ada tower disini?” kami semua sungguh penasaran. -Kemudian saya tahu, dari pemilik toko souvenir yang ada di pintu masuk Cemoro Sewu. Tower itu sudah tidak berfungsi lagi. Dia dibangun pada jaman pemerintahan presiden Soeharto. Entah milik siapa dan untuk apa.-

di tengah padang, jam 4 sore


“Gue pusing!” keluh Joan tak berkutik.

Hujan sudah berhenti. Tapi ia merasa kedinginan. Sedang saya merasa lapar  -hmm.. suatu kombinasi yang aneh- Emma mengangsurkan roti dari daypack yang dibawanya. Dan kemudian mulai sibuk menjepret sana sini dan buntutnya minta dipotret dengan payung merahnya. 

Halah!


Suwasti dan Kris menyusul tak lama kemudian. Kris menemukan sumber air. Ada cekungan resapan air hujan tak jauh dari situ. Ia kesana dan menyaring air dengan filter yang dibawanya.

Benar kata Emma. Seandainya tidak hujan disini, kami pasti akan berhenti lebih lama. Seandainya juga hari masih siang disini, kami juga pasti akan berlama-lama disini.

Sambil berdebat kesana kemari, saya dan Joan sibuk mengunyah roti . –iya, Joan juga ikutan makan roti- ia juga menelan obatnya. Saya juga sempat mengganti baju yang basah oleh keringat dan tempias hujan tadi. Kami istirahat sejenak disini. Diantara kabut yang mulai menutup bukit di ujung sana.


Pukul 16.30 sore

Emma kelihatan kecil sekali. Payung merahnya sesekali bergerak menyusuri jalan setapak yang membelah padang rumput yang luas ini. Dia sudah mulai kedinginan. Yang artinya, harus mulai berjalan lagi. Saya menyusul.  Joan mengikuti  tak lama kemudian. Kepalanya masih pusing. Tapi sudah lebih baik dibanding setengah jam lalu.

Suwasti menjemput Kris yang sedang menyaring air. Dan kemudian menyusul rombongan. Jarak kami masing-masing terpisah beberapa puluh langkah. Tapi masih bisa saling melihat.


Di ujung lapangan ini, ada sebuah bukit yang harus kami daki lagi. Cukup menguras tenaga. Apalagi ini sudah mulai memasuki ketinggian 3000 meter. Oksigen mulai tipis. Kami terengah-engah menghimpun oksigen masuk ke dalam paru-paru.

Pukul 17.00 sore


Dan begitu tiba di puncak bukit, kami melipir lagi dan mengitari beberapa punggungan bukit. Pohon cantigi di kanan-kiri kami.

Di sela-selanya terlihat juga batang pohon edelweis yang belum berbunga.  Tiba-tiba, saya melihat sesuatu yang saya rindukan selama ini. Aha!

“Emmaaak!!!” teriak saya. “Itu puncaknya!!!”


Sambil menunjuk jauh disana, saya melihat tugu dan dan sebuah bendera diatasnya. Sedang berkibar. Kecil sekali. Tapi saya sena
ng karena sebentar lagi kami akan tiba.

Dari jauh Emma mengangguk –saya yakin sebenarnya dia juga sedang tersenyum lebar -.

Ia kembali melangkah. Sesekali saya menoleh ke belakang, memastikan Joan masih ada.

Di kelokan tak jauh dari Joan, nampak Suwasti dan Kris. Oh.. syukurlah. Pasukan masih lengkap.

Hingga akhirnya saya melihat Emma duduk termangu di tumpukan batu.

“Kemana kita Mbak?” tanyanya.


Dia bingung karena jalurnya menghilang disini. Di sekitar kami penuh dengan bebatuan dan pohon cantigi. Sepertinya ini sih yang disebut dengan Pasar Dieng. 

Sayang saya lupa mencatat ketinggiannya. Tapi perkiraan saya, letak Pos Pasar Dieng ini tidak sampai 100 meter ada di bawah pos Hargo Dalem. Tempatnya mbok Yem yang terkenal itu lho.

“Hmmm…ke arah
kiri Mak!” sambil mengingat-ingat pesan David sebelumnya. Dia bilang, begitu di Pasar Dieng, orientasinya terus ke arah kiri. Kami harus hati-hati karena disini banyak percabangan jalur. Dan kalau tidak ada kabut, -ini katanya lagi- “Dari sini kita sudah bisa melihat Hargo Dalem. Letaknya ada di sebelah kiri atas.”

Maka pelan-pelan kami berjalan ke arah kiri. Tak lama kemudian, jalurnya ketemu lagi. Jelas sekali. Diantara batu-batuan dan pohon cantigi.

Kami masih melewati satu padang ilalang lagi. Dan kemudian….Kemudia
n nampak atap-atap bangunan di Hargo Dalem.

Sedikit ke atas lagi. Juga kelihatan puncak lawu hargo dumilah juga tugu serta bendera yang berkibar. Semua semakin jelas dilihat dari sini.

Ahhhh… akhirnya…!!!

-SELESAI-


CATATAN :  pos HARGO DALEM (3.167 mdpl)  disini terdapat tempat ritual dan pondok penziarah dan rumah botol. Sedangkan
PUNCAK LAWU/ HARGO DUMILAH ada di ketinggian 3.245 mdpl; 07° 37' 38" LS dan 111° 11' 39" BT)  Sebelum mencapai Hargo Dalem, sedikitnya ada sekitar 3 teras tanah lapang yang cukup luas berbentuk persegi panjang (mengarah timur-barat) yang di keempat sisinya dilingkungi oleh semak belukar.

Saya menduga, ini tempat untuk mendirikan tenda ketika musim pendakian cukup ramai. Kami datang dari sisi terpanjang tanah lapang ini. Terus membelah lapangan untuk kemudian naik lagi beberapa anak tangga yang terbuat dari batu ke teras berikutnya. Hingga tibalah kami di hargo dalem. Langsung berhadapan dengan petilasan makam. Di kanan kirinya ada bangunan berdinding seng yang digunakan orang untuk bersemedi. 

Lalu kami belok kiri dan bertemu p
apan arah menuju Cemoro Kandang, Cemoro Sewu, Sendang Drajat, Jogorogo, Ceto .. dan satu lagi tidak terbaca. Kami berjalan ke arah Cemoro Sewu.

Hanya beberapa langkah dari sana langsung kami temukan pondok Mbok Yem itu.

Dan disinilah kami akan menginap malam ini.

Read more

catper trip lawu via ceto episode : SEGELAS KOPI DI POS 4

Kisah sebelumnya : episode WHAT HAPPEN IN  POS 3?

Jam 12.15 siang pos 4 Penggik (2520 mdpl)

Dan begitu kepala saya muncul di ujung tanjakan dan naik ke pelataran kecil itu. Ah.. Rupanya Joan dan Emma sedang bercakap-cakap dengan seorang bapak yang ada disana. Kami tiba di pos 4. Ada orang yang sudah lama kemping disini. Serombongan penduduk setempat yang akan turun lewat Ceto.

Katanya kami rombongan ke-enam yang naik lewat situ. Hah? Banyak juga. Salah dong kalau ada anggapan kalau ini jalur sepi. 

Ini hari ke 7 mereka disini. Dengan tenda seadanya, jemuran malang melintang di sekitar dan sebuah radio transistor yang dinyalakan. Tak terlalu keras, tapi cukup mengisi kekosongan benak orang yang ada saat itu. Dua orang sedang leyeh-leyeh tidur di dalam tenda. Nampak nyaman sekali. Salah seorang dari mereka sedang turun ke bawah. Yang lain sedang menimang-nimang bunga edelweis. Entah di dapat darimana. Mungkin kemarin dulu waktu mereka muncak.

Ada air?” tanya Kris.
“Ada mas.“ tapi lumayan juga kalau mau turun.
“Mata air? Sungai?” tanya saya lagi. Gembira. Hobi main air. 
“Dari pipa air”

Oooooo… mungkinkah pipa air yang kemarin kami lihat sepanjang jalur dari pos 1 itu berujung disini?

Kami dibuatkan kopi oleh salah satu bapak yang baik hati itu.  Berulang kali dia menatap kami dengan takjub.


“Perempuan semua?”maksudnya, ini yang naik perempuan semua-

"Hihihi.. ada pak, cowoknya satu. Tuh!”

Mungkin karena kasihan melihat kami yang belum pernah lewat sini. Mungkin juga karena pengalaman pribadi melewati super tanjakan yang alaihim itu. Sambil ngobrol, dengan cekatan ia meraut batang kayu untuk kami. Voila!! Lima batang trekking pole sudah jadi.

Aduh.. kami terharu!


di pos 4 ini ada dua teras bersusun. Jalur naik kami membelah kedua teras ini. Di sayap kiri teras pertama ada bangunan sederhana beratap seng tanpa dinding, mirip seperti shelter di pos 3 tadi. Yang sekarang jadi tempat persediaan kayu bakar mereka. 

Sedang di sayap kanannya ada pelataran tanah yang diatasnya dibangun tenda. Naik sedikit ke teras berikut, disanalah tempat kami menumpang masak dan istirahat. Tempatnya cukup luas. Cukuplah disini jika ingin dibangun sebuah tenda. 

Menu makan siang kami kali ini adalah mie rebus ditambah suwir-suwir ayam (sisa kemarin), tuna kaleng sumbangan Kris plus crackers keju. Kopi lagi. Teh lagi. Dan buah.

Selama perjalanan dari pos 3 ke pos 4 tadi jalurnya tidak begitu ekstrim, satu setengah jam pertama paling tidak sekitar 10-15 derajat kemiringannya. Tapi setengah jam selanjutnya barulah tanjakan 45-60 derajat yang membuat paha dan betis saya berdenyut-denyut.

“Aaaah… !!!” kopi- ini ada yang punya? Tanya saya lagi si penggemar kopi. Masih ada segelas kopi yang belum diminum.  Sambil menemani Joan dan Emma dengan sebatang rokoknya. Saya menyesap kopi dengan nikmatnya… ambooooy!!!

Wah.. tidak terasa sudah 2 jam disini. Mereka menolak snack dan cemilan yang kami beri. –ini tanda terimakasih kami karena sudah dibuatkan 5 gelas kopi- katanya, kami pasti lebih butuh karena akan naik. Duh.. baik banget ya mereka. Emma nyaris menangis karenanya “Sekarang udah jarang nemu orang yang kayak gini”

Mereka melepas kami dengan sebuah doa. Amin… semoga selamat di perjalanan.

Pukul 13.45 siang


Cuaca mulai gelap. Kami sudah memasuki hutan cemara yang pohonnya sangat rapat.

Mulai terasa dingin dan kabut pun sering turun menyambut kami. 

Kadang-kadang tebal hingga menutup pandang.



Kadang juga berupa siur angin yang mirip sekali suara aliran sungai. Atau bahkan turun tetes-tetes air akibat kabut terlalu tebal yang ia sendiri tak mampu lagi membendungnya.

Tinggal menunggu waktu saja. Sebentar lagi pasti turun hujan.

Dari sini jalan akan terus menanjak naik. Yah.. sekitar  45-60 derajat-lah. Empat puluh lima menit kemudian kami malah sudah menembus ketinggian 2715 mdpl. Ada pelataran datar. Dan dua pohon besar yang membingkainya.

Sepertinya sih ini puncak punggungan. Kami istirahat sebentar. Ada batang pohon rebah yang dapat kami gunakan sebagai sandaran. Emma, Joan dan Suwasti tergoda untuk menjepret jamur dan lumut yang ada di batang pohon itu. Cantik memang.

Tiba-tiba kabut pun terbuka. Lalu nampak puncak bukit di sebelah. Semua bertanya-tanya. Apakah nanti kami akan lewat situ?  Mengingat jalur yang kami ikuti sekarang mengarah kesana, terus ke kanan. Nah..nah… semakin menarik saja perjalanan kali ini. Hati saya mulai berdebar-debar.

Pukul 14.45 siang


Kami beranjak dari tempat ini. Lalu hujan pun turun. Kadang gerimis, kadang deras. Malas membuka raincoat, saya, Emma dan Joan membuka senjata andalan masing-masing. Payung!  lagipula jauh lebih aman karena melindungi tas kamera yang saya kalungkan di depan dada. 

Saya terus merapatkan barisan pada Emma dan Joan. Suwasti dan Kris agak tertinggal di belakang, Tadi mereka berhenti dulu untuk memakai raincoat. Dari sini jalurnya jelas sekali dan orientasinya selalu ke kanan. Sekarang jalurnya turun terus dan kemudian naik lagi melalui tanjakan yang ….. ampuuuun deh!


Lima belas menit kemudian, kami mencapai kaki punggungan tetangga. Tidak harus nanjak bukit sebelah yang tadi kami lihat. Tapi sedikit naik dan melipir di kakinya.  Kami mengikuti tanjakan tanah yang jalurnya yang berputar sedikit dan melewati hutan cemara yang nampaknya bekas terbakar di waktu lalu. Masih banyak batang-batang pohon yang menghitam. Walau kini semak belukar yang hijau mulai menghiasi diantaranya.

Rasanya tanjakan ini tak habis-habisnya. Emma dan Joan nampak tertelan kabut diantara pohon-pohon cemara hitam ini. Lalu tiba-tiba pandangan berubah.


Ah… hati saya bergemuruh.


Jadi inilah padang sabana itu. Seperti yang dijelaskan David waktu kami chat beberapa minggu lalu.

“Ada padang ilalang yang mirip seperti Cikasur, mbak”
–cikasur itu salah satu tempat di gunung Argopuro, Jawa Timur- dan karena ini pula yang membuat saya ingin lewat jalur ini.

Kami datang dari arah barat. Di sisi kanan kami hutan cemara be
kas terbakar itu, sedang disisi kiri kami ada hamparan padang ilalang yang luas. Rumputnya masih muda. Masih ABG.  belum setinggi rumput di Cikasur atau gunung Merbabu. Masih setinggi betis dan warnanya masih hijau daun pisang.

Padangnya indah sekali.

Andai waktu itu tidak hujan. Barangkali kami akan lebih lama bermain-main disini. 

Dan lautan rumput ini panjang sekali. Mungkin bandingannya sama seperti berjalan dari alun-alun timur menuju alun-alun barat surya kencana di gunung Gede.

Bedanya disini penuh rumput dan bukan pohon edelweis.


Bukan puncak gunung Gede dan Gumuruh di kanan kirinya, tapi siluet bukit dan hutan pinus di kanan kirinya.  


Saya, Emma dan Joan saling menjepret dengan kamera. Cukup lama juga kami disini. Tapi Suwasti dan Kris belum kelihatan. Lalu perlahan-lahan
kami berjalan menyusur padang ini. Beberapa kali pula kami berhenti menunggu mereka. Tapi belum kelihatan juga.Duh.. mereka ada dimana ya? Seharusnya mereka sudah  ada disini.

Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)






Setelah lama mengarungi padang ilalang itu. Akhirnya saya temukan juga pos 5. Menurut info yang diberikan David sebelum kami kesini.

“Dulu di pos 5 ada shelternya, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. tandanya hanya berupa batu propinsi saja. “

Jadi ini rupanya batu propinsi itu. Tapi ….“Ah .. mana Suwasti ya?” saya khawatir sekali.



next : kemana ya ibu yang satu itu?
Read more

catper trip lawu via ceto episode : WHAT HAPPEN IN POS 3?

Kisah sebelumnya di: episode bus armada sayur

17.30 WIB Pos 1 Reco Kethek (1715 mdpl)

“Pos 1 !!!“ jerit Emma.

Entah kekuatan darimana, saya ngebut. Semakin mendekati pos, senyum saya semakin mengembang. Ini jauh lebih cepat dari perkiraan kami semula. Kami tidak berhenti lama disini hanya foto-foto sebentar –teteeeeeuppp!!! - lalu kami pun berlalu.

Shelternya ada disisi kiri jalur.
Bentuknya mirip tenda pramuka, tapi yang ini terbuat dari  kayu dan bambu. Lantainya dari tanah tanpa dinding. Atapnya terbuat dari anyaman bambu yang warnanya sudah menghitam karena hujan. Orang harus merunduk untuk masuk dan duduk di dalamnya.

Formasi barisan –dan ini berlaku hingga kami turun- Emma, Joan, saya, Suwasti dan Kris paling belakang. Saya perhatikan Joan dan Kris memang terlahir untuk jadi pendaki. Badan ceking, tinggi tapi tenaganya kuat. Kalau mau, mereka sudah melesat beberapa menit –ehm… maksud saya beberapa jam  - jauh di depan.

Sedang saya, Emma dan Suwasti adalah tipe orang yang harus berjuang keras berlatih untuk menjaga stamina. Badan kami (cenderung) lebar kesamping, tapi sekseh.. hahaha…

Tapi kondisi saya sore itu tidak begitu bagus. Berkali-kali saya berhenti untuk mengelap keringat, minum dan mengatur nafas. Suwasti dan Kris dengan sabar menanti tak jauh dibelakang saya. Perlahan namun pasti kami bergerak terus. Hari mulai gelap. Tanpa diperintah, diam-diam kami mengeluarkan headlamp.

19.00 WIB Pos 2  Brakseng (1915 mdpl)


Jam tujuh malam di pos 2. Hari sudah gelap. Pepohonan tinggi diantara kami terlihat muram dan hitam. Baju saya sudah basah kuyup karena keringat. Lembab sekali disini. Gerah pula. Rasanya saya ingin sekali menendang kerir celaka ini  menggelar tenda, mengganti pakaian, makan dan langsung merebahkan tubuh. Batas ketabahan saya habis sudah.

Jadi saya tanya mereka satu persatu.

“Mau terus sampe pos 3 atau kita berhenti dan nginap malam ini?”

Emma bilang dia masih kuat untuk terus ke pos 3 tapi  kalau mau ngecamp di sini juga nggak apa-apa. Dia nyengir sambil berharap kami ngecamp saja.  Begitu juga Suwasti. Joan apalagi. Hhh.. diplomatis sekali 


“Kris?”
“Sudah malem. Lebih baik kita ngecamp disini.”


Dan kini mereka semua memandang saya.


“Saya capek sekali.” Sahut saya sambil nyengir.
“Kita ngecamp aja ya?” memang itu cita-cita saya dari pos 1 tadi.

Lagipula saya nggak suka jalan di waktu malam hari. Bukankah lebih baik segera istirahat memulihkan tubuh. Besok sih lanjut lagi, masih sekitar 1000 meteran lagi kami naik. Wadau.. masih jauh !! 

Maka kami membongkar bawaan masing-masing. Shelternya serupa seperti pos 1. Hanya letaknya ada di sebelah kanan jalur. Di depan shelter ini ada tempat yang sudah dibuka pendaki sebelumnya. Walau tanahnya tidak begitu rata dan berkali-kali tangan saya tersengat jelatang waktu mendirikan tenda tapi tempatnya cukup untuk membangun 2 tenda. 

Malam itu terang bulan, tapi saya ingin segera tidur. Setelah makan nasi dan lauk yang tadi pagi kami beli, saya menyelusup masuk ke dalam sleeping bag hangat saya. Sayup-sayup masih terdengar Joan dan Emma ngobrol di depan pintu tenda. Tak lama kemudian mereka pun menyusul saya.

Sabtu 27 Februari 2010 jam 06.10 pagi


“Kalau tau begini. Gue nggak akan bawa banyak logistik” protes Joan.

Kami bertiga –saya, emma dan Joan- dengan lugu duduk memperhatikan Kris dan Suwasti yang sedang membongkar logistik mereka. Ada tuna kaleng, cumi-cumi kering, sop sachet, buah-buahan dan rupa-rupa makanan siap saji lainnya. Nampak kontras sekali dengan kami yang hanya memegang bungkus mie instan dan kopi sachet.  Manajemen logistik kami tidak sevariatif mereka.

Saya sih gengsi, lebih baik menyuap roti isi keju dan segelas kopi bekal kami. Tapi akhirnya mengikuti Emma juga menyerbu nasi goreng buatan Kris. Hahaha..
maksud hati sih pengen icip-icip aja. Tapi kok keterusan ya hingga licin tandas. Mungkin tadi Kris cuma basa-basi aja nawarin nasi gorengnya.   Pasti dia nyesel deh. Maaf ya Bro..!!

Jam 08.45 pagi masih di pos 2.

“Siap ya!!!”

Sebelum beranjak dari pos 2, kamera saya dan Emma sudah kami tumpangkan di punggung kerir yang sekarang jadi tripod dadakan. Self timer-nya kami atur untuk 10 detik.  Sambil membidik sasaran, kami saling berbagi, akan berdiri dimana nanti. Lalu kami berdoa semoga hari ini dimudahkan perjalannya. Dilancarkan dan selamat hingga tujuan.

Jalur dari pos 2 ke pos 3 jelas sekali. Sama sekali tidak ada per
cabangan. Hanya saja, jalurnya sudah mulai menanjak. Berganti-ganti sih. Dari landai hingga tanjakan.

Bukan tanjakan setinggi paha yang penuh akar pohon untuk berpegangan. Tapi tanjakan berikut lumutnya. Dan ilalang semak belukar dikanan kirinya. –kemudian juga baru saya sadari, saya tidak memakai baju lengan panjang. Begitu tiba di rumah, sudah baret-baret karena luka tergores ranting pohon, sigh!-

Tanjakannya mulai aduhai sekal
i. Tapi dibanding kemarin sore, pagi ini hati saya terasa ringan. Kami sudah mulai masuk hutan. Tidak begitu rapat dan masih banyak semak belukarnya. Dan langit terlihat biru diantara pucuk pepohonan.

Keren deh!

Jam 10.15 pagi pos 3 Cemoro Dowo (2215 mdpl)


Akhirnya kami tiba di pos 3. Kami mencatatkan sekitar 1,5 jam jarak tempuh dari pos 2 ke pos 3. Dan seingat saya, sepanjang perjalanan tadi ada dua tempat datar yang cukup luas seandainya kemalaman dan harus menggelar tenda.

Pos 3 ini berupa dataran. Pada sayap kiri dataran ini ada shelter sederhana dari kayu dan atap seng. Tanpa dinding. Tapi cukup jika pendaki ingin berteduh ketika hujan. Sedang di sayap kanannya berupa dataran yang dapat digunakan untuk istirahat atau membangun satu atau dua tenda.

Tidak begitu lama kami berhenti disini. Tidak sampai 15 menit. Yaaa.. cukuplah untuk melemaskan kaki, minum susu dan mengunyah buah *pemberian Suwasti*.

Kecepatan kami cukup imbang.  Tidak terlalu lama berhenti dan konstan. Setelah mengisi perut, kami teruskan kembali perjalanan.

Emma dan Joan sudah beberapa puluh langkah di depan. Samar-samar saya mendengar suara orang. Kenapa begitu ramai ya?

Bersambuuuuuung…

-kemaren sore saya terima sms dari Joan.


From: Joan <+62856xxxxxxx)
14.03.2010 ; 16:26


Temans, dapat info dr bang Hendry HC kalo asep, mabk dwi, dan ari, yg sedang naik lawu lewat ceto, menemukan mayat perempuan pake rok di pos 3. Sudah dievakuasi penduduk, dan skrg mrk sudah turun, ga lanjutin pendakian….


next : 
Read more
 

hujan, jalak dan daun jambu Design by Insight © 2009