argopuro dan kabar dari jakarta

teman-teman, ini kejadian waktu  kami ada di sikasur. waktu itu sudah hari ke tiga kami di argopuro.

Minggu 19 agustus 07

Aku kena sariawan. Ada delapan titik. Menyiksa sekali deh. Mungkin karena kurang makan buah. Mungkin juga karena kurang vitamin.  Atau karena panas dalam.  Mungkin juga karena aku bukan dokter. Hei! Serius amat bacanya :)

Yang jelas, bibirku juga pecah-pecah. Jangankan untuk nyengir. Mau ngomong aja rasanya pengen nabok orang karena perihnya. 

Hari itu aku bersumpah :
kalau bisa dapet abothyl (catatan : obat sariawan, obat tetes, warna ungu tua, umumnya ditakuti para penderita sariawan :) akan kuobati sariawan ini.

“saya punya mbak”  Cahyo menyahut entah darimana.

Damn! Kepiting rebus! kecoak busuk! Sejuta topan badai!  Aku ciut. Nggak berani.

 

Siang

Akhirnya pos Sikasur sepi juga.  Kini pondok kami kuasai :D. Tetangga sudah mengepak barang dan turun menuju Baderan. Aku bangun siang.  Yang lain juga begitu. Semalam, aku, Joko dan Wangsa tidur berhimpitan bersama dua remaja rempakem itu diantara : trangia, beberapa kantong logistik, kerir, sepatu dan jemuran pakaian basah kami.

Ah, siapa bilang tidur di dalam pondok lebih hangat. Tidurku tak nyenyak karena dingin. Lihat saja, pos ini tak lagi berpintu dan dinding utara hilang sebagian. Aku kerap terbangun karena ‘teman-teman kecil’  (baca : tikus) ingin mencicipi isi kantong logistik yang ada di sampingku. Yang seharusnya dilakukan adalah : memasang tenda di dalam pos. itu baru benar.

Dan Joko pun membangun tenda tepat di depan pos. “kenapa mas?” Tanya Wangsa.  “tuh!”  Joko menunjukku yang sedang bengong di depan tenda.

Siang itu, Joko turun tangan untuk masak. Aku sih jadi pengawas aja. Sambil comot sini comot sana. Hehe… Yang lain,  sejauh yang bisa kupantau dari dinding pondok yang terbuka : turun ke sungai, mandi, cuci piring dan motret.

Mas Gimo malah menjemur seluruh isi kerirnya. Basah.  Dedy  mengikuti. Menu hari itu adalah sayur lodeh, lembaran tipis daging beef burger yang digoreng matang dan kepingan emping goreng.  Lezat betul kelihatannya. Makan pagi sekaligus siang. Di pondok di tengah lapangan seluas ini. Dan aku menelan ludah.

Dan tiba-tiba.

 “Kuuuuuuuur…kuuuuuuurrr! Ayo makaaan!”

Suara kelontengan panci yang dipukul Joko dengan sendok.  Sialan! Kami disamakan dengan ayam. Hahaha….

Sedetik kemudian kami berkumpul di dalam pondok. Memegang piring dan sendok masing-masing. Menunggu dituang jatah lodeh dengan adilnya.

 Setelah makan, dan bebenah. Aku masuk ke dalam tenda dan tidur. Yang lain satu persatu menyusul.  Mas Gimo, Dedy dan Wangsa menggelar matras dan tidur di luar menantang langit. Sepi di ketinggian 2100 meter ini. Hanya terdengar bunyi angin dan tarikan nafas kami yang bersahut-sahutan.  Tidur dulu yaaaak…!

ini obrolanku dengan chipi dan cahyo pagi tadi
 
Ada apa semalam Puts?”  tanyaku pada Chipi “Apa kamu sakit?”

“Nggak mbak.”

“tapi Mas Gimo"

"beban Mas Gimo berat banget” kata Chipi.

Jadi begini ceritanya, sejak meninggalkan pos mata air 1. Mas Gimo selalu ada di belakang, karena beban berat maka jalannya pelan sekali.

“Nyampe alun-alun kecil jam berapa?”“jam tiga mbak”

padahal perjalanan dari alun-alun kecil hingga sikasur normalnya hanya 2-3 jam saja.

“Kenapa lama sekali?”  balasku gemas.“nunggu mas Gimo" sudah malam ketika mereka ada di Jambangan. Gelap. Hujan. Lelah dan ngantuk.  Mereka putuskan untuk menginap semalam. Besok pagi baru menyusul ke Sikasur.

“terima pesan berantai kami?” “Terima mbak”  ini  Cahyo yang menyahut. Tapi pesanku tak berbalas. Aku tahu, selain kami, tidak ada lagi pendaki yang naik menuju Sikasur.

Ingin sekali mengabarkankan status mereka saat itu, Chipi dan Cahyo mencoba keberuntungan. Dan menelpon kami yang ada di Sikasur. Tumben dapat sinyal.

“HP mbak aries nggak aktif”“Iya. Mati. Nggak ada sinyal sih”

“Hp mas Joko juga”“idem. Dimatiin. “

“Nggak tau no hp mas Dedy. Juga Wangsa” “oh”  

akhirnya  Chipi  menghubungi Nani –pacar Wangsa- yang ada di Jakarta.“Hmmmmm….” Firasatku mulai tidak enak. 

Sebagai orang yang sudah makan asam garam, Mas Gimo dengan bijak berpendapat. “Hati-hati untuk kasih kabar ke Jakartapoinnya sih. Pikir dulu sebelum bertindak. Cara orang menanggapi sebuah berita, apalagi dengan kondisi jauh disana, bisa berbeda-beda lho. Aku setuju dengan Mas Gimo.

“Mas Gimo memang begitu Hany.” “Begitu gimana?” 

dalam kesempatan yang berbeda, ini pembicaraanku dengan Joko. Mas Gimo itu selalu packing paling akhir. Kalau masih ada barang di luar. Pasti dia angkut.  Nggak peduli seberat apapun.

Iya. Tapi umur nggak bisa ditipu Joko”.

Mungkin bukan jamannya lagi mas Gimo membawa beban seberat itu.


Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku jadi nggak peduli dengan rekan seperjalananku ya? Biasanya aku selalu rajin memeriksa beban kerir teman-teman. Aku juga kecewa dengan Joko. Kok kelihatannya dia nggak peduli dengan sahabatnya itu. Bentuk persahabatan yang tidak aku pahami.  Semoga saja aku salah.

Pagi itu juga kubongkar kerir Mas Gimo. Logistik kelompok kubagi tiga.  Untuk mas Gimo, untuk Wangsa dan Dedy. Sederhana saja, agar Mas Gimo tidak tertinggal lagi. Alasan yang lain : bila terpisah lagi. Minimal, team depan pun lengkap logistiknya. :) ah, tak kenyang rasanya, jika teringat semalam hanya makan mie kuah dan nasi dingin sisa makan siang.

Pelajaran hari itu (jangan pernah bosen untuk ngingetin): sebelum berangkat, catat nomor HP masing-masing. Bawa HT minimal 2 buah.  Beban kerir merata. Usahakan selalu berjalan bersama. Atau kalau tidak, menunggu di tiap pos. baru jalan lagi.

-ars-
begitu deh kejadiannya waktu itu. Maaf ya kalau merepotkan temen-temen di jakarta (dan Batam), temen-temen yang masih ada di semeru , juga makasih temen2 yang masih stand by di proboliggo. padahal kami tahu, kalian pasti masih capek beraats

Read more

argopuro dan ojek ke Sikasur

Kamis 16 agustus 07, di Baderan

Kami turun. Tidak jauh dari KSDA, ada warung nasi sederhana. Kami makan siang dengan telur ceplok dan sayur lodeh yang rasanya lezat sekali -perlu dicatat disini, sayur lodehnya nggak pake daun melinjo. Jadi ya dimodifikasi dengan potongan kacang panjang. Eh.. kalo udah dipotong, apa masih bernama kacang panjang? *penting banget nggak sih :p*- untuk praktisnya, kami pun memesan makan malam, memesan sarapan dan bungkusan makan siang untuk esok hari. Dan menjadi saksi reaksi cepat si ibu : memanggil orang untuk menyembelih ayamnya yang lucu, yang kami lihat sedang mengorek-ngorek tanah mencari makan di lapangan depan warung- “Untuk makan malam nanti” ucap si Ibu datar. Nafsu makanku hilang seketika. Nggak tega.

Sebelum magrib

Aku datang ke bangunan Inti. Pengen ngobrol aja dengan mas Sugiono. Pada bangunan inti ini terdiri atas ruang tamu, dua ruang tidur, satu dapur dan kamar mandi. Di ruang tamu terdapat satu set sofa kulit dan satu meja kerja. Di dinding samping ada peta kontur kawasan pegunungan Argopuro yang digambar ulang diatas kertas kalkir. Astaga. Niat banget! Kenapa nggak beli peta kontur aja ya di Bakosurtanal?-

Karena penasaran mengenai issue jalur ojek dari Baderan ke Sikasur, sebelum berangkat kesini aku sempet ngobs dengan Ucup –posisi di jakarta- dan David –posisi di Surabaya-  kedua temanku ini, dalam dua kesempatan yang berbeda, baru kembali dari Argopuro.

“S-E-R-I-U-S ?” tanyaku. (huruf kapital, font gede, warna merah)

 “Iya. Lumayan Ries. Menghemat  dua hari perjalanan”  cetus ucup.

“Emang ada ojek kok, mbak!”  kalo ini david yang ngomong.

“Seratus limapuluh ribu” ucup mulai bersemangat.

“Tapi bisa ditawar kok mbak” kata david.

“Danaunya eeeeenndaaaaah banget mbaaaak”  racun David.

Jujur, aku sangsi. Nggak percaya. Kalau melihat peta konturnya, aku juga curiga. Apa iya dari 900-an bisa naik ke 2100m hanya dengan motor. Masih ada  cemoro lawang masih  ada alun-alun kecil dan gunung Jambangan sebelum Sikasur. Apa mau melintas jurang? But for the sake of gengsi  :)  aku memilih untuk jalan.  Pembenaranku, ini perjalanan pertamaku ke Argopuro, sayang untuk dilewatkan dengan naik motor.

Mas Sugiono sudah selesai masak. Penganan yang baru dibuatnya disuguhkan kepadaku -dari tepung ubi isi serutan gula merah yang dikukus,nggak tau apa namanya- “betul mbak, memang ada jalur ojek  dari sini ke Sikasur” jelas mas Sugiono. Sebenernya panjang banget sesi tanya jawabnya. Tapi begini ringkasnya.

Konon sudah sejak lama Argopuro dilirik investor –kita sebut saja investor X-. “Dari mana Mas?” “Nggak tau mbak, dari Jakarta katanya”  mereka sudah beberapa kali mendekati bupati Probolinggo -atau jember ya?- untuk kerjasama dan nggak pernah disetujui. Seperti diketahui bersama, kawasan pegunungan ini terletak antara Kabupaten Probolinggo dan Jember.  Nggak putus asa, mereka mendekati bupati Jember –atau probolinggo ya? Ampuuun deh. Penyakit lupa akutku sulit disembuhkan rupanya :) -

Wangsa duduk dan bergabung “Yang mau dikembangkan? ” ini sudah potongan kue yang kesekian aku makan. “Di Sikasur itu, mau dibuat perkebunan tulip. Kalo mbak jeli, nanti di sungai sikasur yang banyak selada airnya itu, ada sisa-sisa tulip bekas peninggalan jaman belanda dulu” jawab mas Sugiono. “Mau dibangun kawasan wisata.” Tambahnya.

Dan proposal mereka disetujui. Atas restu Bupati, maka jalur pendaki dari Baderan mulai di perbaiki. “kapan itu  Mas?” “Hmmm… akhir tahun 2005” Dibuat jalan makadam hingga batas hutan.  Jalur trekking yang hanya satu jalur, diperlebar. “lha? Lembah sebelum Sikasur?” Ini mas Gimo yang tanya. Rupanya sudah sejak lama ia duduk dan bergabung dengan kami. “ya dibangun jembatan” . Maka jadilah jalur motor dari desa Baderan menuju lembah Sikasur.

Petugas di Baderan merasa kecolongan. Itu pun mereka ketahui dari info pendaki yang baru turun. Dan setelah pembangunan rampung pula. “Masak  sih mas nggak ketahuan sama sekali? Jalan dan jembatan kan nggak dibangun dalam waktu semalem kan?” tanyaku. Ingat kisah Lorojonggrang dan Candi Prambanan. Hehe… tumben.

Mas Sugiono malah curhat. Hanya ada dua orang petugas untuk mengawasi kawasan seluas ini. Apa mungkin bisa? Lagian penduduk  Baderan yang diupah untuk membersihkan jalur, juga pada diem-dieman tuh. Siapa yang nggak tertarik dapet upah gede. Dibanding penduduk Bremi. Pendapatan perkapita penduduk Baderan sangatlah kecil. Buat mereka, ini adalah sumber ekonomis baru. “Kemarin ada 50 motor rombongan Bupati yang naik menuju Sikasur” ujarnya sedih. Akibatnya tak ada lagi kijang dan merak yang berani nongol di padang Sikasur yang maha luas itu.

Dadaku sesak.

yang mau ngintip sebagian foto ada di : dan lembah itu bernama lembah pembantaian
Read more
 

hujan, jalak dan daun jambu Design by Insight © 2009